Lala
Entah apa pikiran gadis yang tengah termenung di depan cermin kamar mandi ini, dirinya merasa terlalu tiba-tiba menanyakan perihal hubungan mereka. Namun, gadis itu hanya bingung, benar-benar bingung. Apa pantas seorang 'teman' yang baru dikenalnya beberapa bulan lalu memberi barang-barang yang terbilang cukup mewah? Apa pantas seorang 'teman' bersikap selayaknya yang Danta lakukan pada dirinya selama ini? Bohong jika gadis itu tidak mempunyai perasaan kepada Danta. Reaksinya selama ini, jantungnya yang berdegup kencang, gerakannya yang salah tingkah, bahkan wajahnya yang memerah jika berhadapan dengan Danta, apakah belum cukup menjadi suatu tanda munculnya perasaan baru dalam dirinya? Naif, naif jika dirinya tidak terbawa perasaan dengan segala citra yang diberikan pemuda itu. Lala menatap wajahnya di cermin, ia malu, bingung, jangan-jangan selama ini hanya dirinya yang terlalu terbawa perasaan pada pria itu? Ah, semua kemungkinan terputar dalam pikirannya. Lala membasuh paras cantiknya, berencana meninggalkan toilet siswi yang sepi. Ketika langkahnya mulai bergerak, sesosok gadis lain datang menghampirinya.
“Habis chattan sama Kak Danta?” tanya Ghina secara tiba-tiba.
“Eh, Ghin, iya.” Jujur saja Lala cukup kaget dengan kehadiran Ghina. Ghina melirik paper bag yang dibawa sahabatnya itu, seperti tidak asing. “Dari Kak Danta ya?”
“Oh ini, iya, dari kakak kamu,”
“Pantesan waktu itu melipir ke store cewe sendiri, mau beliin lo ternyata,”
Ghina menatap fokus netra Lala, kedatangannya untuk menghampiri Lala bukan lah tanpa alasan. Dirinya ingin berbicara sesuatu hal dengannya, hanya empat mata. Sejujurnya ia ingin membicarakan hal ini di rumah tadi, sebelum berangkat sekolah. Namun, ada Jeje di antara mereka.
“La, gue gak tahu udah sejauh apa hubungan lo sama kakak gue, tapi yang jelas, kalau lo gak yakin dan cuma mau main-main sama Kak Danta, lebih baik jangan. Gue tahu, emang gue yang awalnya mau ngejodohin kalian. Lo sahabat gue, gue tahu banget sifat lo gimana, maka dari itu gue rasa kalian berdua cocok. Tapi semakin kesini, gue liat lo makin deket sama Kak Danta, even sama temen-temennya. Kak Danta dulu pernah diselingkuhin, dan gue gak mau Kak Danta salah milih lagi. Mantan-nya Kak Danta cuma manfaatin dia doang, habis itu kakak gue ditinggak pergi. So, yeah kalau lo gak yakin, dan cuma mau main-main aja, let him go” tutur Ghina panjang lebar. Lala kaget, ia tak menyangka Ghina akan membicarakan hal ini, dirinya seperti merasa tertuduh hanya ingin memanfaatkan Danta, terdapat sesuatu yang mengganjal pada hatinya.
“Ghin.. maksud kamu apa? Aku sama kakak kamu gak ada hubungan apa-apa. Jadi kamu gak usah takut, aku gak bakal manfaatin dia. Aku tahu, kita beda, tapi kata-kata kamu tadi seolah menyudutkan aku. Aku gak pernah minta apa-apa dari Kak Danta. Maaf Ghin, paper bag nya aku titip ke kamu ya? Tolong kasih ke Kak Danta lagi. Maaf, aku gak bisa nerima, makasih,” Lala meraih tangan Ghina, menyerahkan barang pemberian kakaknya untuk dikembalikan. Ia bergegas menuju kelas. Aneh, rasanya seperti ada sesuatu yang menusuk hatinya.
“La, maksud gue gak gitu!!” Teriak Ghina dari dalam toilet. Ghina hanya takut kakaknya mendapat wanita yang salah lagi. Ah sial, ia tahu mungkin dirinya kelewatan saat berbicara tadi. Ghina menggigit bibir bawahnya cemas, menundukkan kepalanya, perasaan bersalah seketika mendatanginya di ruangan hampa ini.