Tentang Danta
Matahari terbenam seakan mengikuti gerak mobil sedan yang membelah jalan. Tian memegang alih kemudi dengan Danta yang berada di sampingnya, ditemani seorang gadis cantik yang sudah tertidur lelap di kursi belakang. Hening, tak ada percakapan apapun. Keduanya digeluti oleh pikiran yang merasuki diri mereka masing-masing. Danta mengusap wajahnya gusar, hembusan nafas yang teramat berat ia loloskan tanda kecemasan. Tian sudah melihat gerak-gerik sahabatnya itu sedari tadi, ia masih penasaran dengan cerita Danta yang belum tuntas. Apa arti kalimat terakhir Danta di room chat tadi? Apa yang sahabatnya itu cemaskan hingga kini? Apa? Kenapa? Itu semua terlontar di benak Tian. Cukup lama sudah perjalanan di tempuh, belum ada yang berani membuka suara. Hingga rasa penasaran Tian semakin memuncak dan mencoba membuka percakapan di antara mereka.
“Dan, kenapa?”
“Apanya?” Danta melirik sahabatnya sekilas, ia masih belum mengerti dengan pertanyaan tersebut.
“Lo belum selesai cerita, tadi dokter Amri bilang apa aja ke lo?”
“Gue harus operasi Transplantasi hati, secepatnya, itu yang dokter Amri bilang tadi,” jelas Danta yang dibalas tatapan tertegun dari Tian.
“Gue cuma takut ...” sambungnya lagi.
“Apa yang lo takutin?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari tuturan Tian. Sungguh, ia tidak kuat menatap sahabatnya saat ini. Terserah kalian mau menganggap Tian pria lemah atau cengeng, ia benar-benar ingin menangis sekarang.
“Kanker hati gak bisa sembuh, Yan.. percuma,”
“Gak ada yang percuma, gak ada yang sia-sia. Selagi itu bisa dicoba, kenapa nggak?”
Danta menoleh ke hadapan Tian, ia tersenyum kecil. Kembali memalingkan pandangannya ke depan, lurus ke arah jalan.
“Kata dokter Amri, gue harus bilang ke Mamah tentang penyakit gue, dia mau gue jujur tentang semua yang gue alami selama ini, sebelum operasi itu di mulai,”
Tian terdiam, dirasa kalimat yang dilontarkan Danta masih menggantung, ia menunggu sang cucu adam menyelesaikan kalimatnya.
“Gue nyembunyiin penyakit ini bukan tanpa alasan. Bukan mau sok jago, sok kuat, sok keren kayak yang pernah lo bilang,”
Danta kembali melayangkan senyuman miris teruntuk dirinya sendiri, menarik dan menghembuskan nafas dalam seraya hendak melanjutkan kalimatnya.
“Dulu, Papah juga punya penyakit yang sama kayak gue. Kompleks, bahkan mungkin lebih komplek daripada gue. Semenjak Papah didiagnosis sama dokter, semua orang berubah. Semua orang jadi nganggep Papah kayak beban, bahkan keluarganya sendiri,”
Danta mulai merasakan netranya ingin melepaskan cairan bening disana, ia mencoba menahan dengan mengusap telapak tangannya perlahan ke sumber penglihatan. Kepalanya ia tundukan sejenak, mencoba mengingat peristiwa masa kecil yang tak terlupakan baginya.
“Dulu, perusahaan keluarga gue belum sebesar sekarang. Waktu itu bener-bener gak ada yang mau bantu Papah, dia sakit dan berobat sendiri. Gue masih inget banget, gimana keluarganya ngeremehin Papah. Mereka bilang, Papah nyusahin, cuma bisa ngehabisin uang buat biaya berobat doang, dan parahnya mereka bilang itu semua percuma karena bentar lagi Papah bakal mati. They said all those of shit in front of me, padahal waktu itu gue baru umur lima tahun. Bocah yang gak ngerti apa-apa, bocah yang gak sepatutnya denger itu semua, dan..”
Lagi-lagi kalimat Danta menggantung, Tian kembali harus menunggu pria itu menyelesaikan kalimatnya. Berat..
“Harusnya gue bisa lebih terbuka dan gak setakut ini buat ngeliat reaksi orang-orang tentang penyakit gue, haha,” akhir Danta dengan tawa miris.
Tian langsung memakirkan mobil yang mereka tumpangi di tepi jalan. Ia hanya ingin memeluk sahabatnya itu sekarang, tangisannya pecah, ia tidak mengetahui bahwa selama ini permasalahan pria di sampingnya terlalu rumit, lebih rumit dari yang ia bayangkan.
“Maaf ... gue gak tau,”
“Lo ngapain??”
“Mau meluk lo lah, apalagi?”
“Gak, lanjut jalan. Kasian Lala itu udah ketiduran, udah mau malem juga, gak enak nganter anak gadis kemaleman. Cengeng lo, lap dulu itu ingusnya,”
“Ck, gak asik lo!”
Kalimat terakhir dibalas gelagak tawa dari Danta. Setelah sekian lama, untuk pertama kalinya ia merasa sedikit lebih lega karena berhasil menuturkan dan membagi cerita perkara apa yang ia takutkan selama ini. Kisah yang di dengar oleh Tian, dan juga Lala yang tanpa sepengetahuan dua pria di depannya sudah terbangun sejak percakapan pertama tadi dimulai.
@zilnieboss