Tentang Danta Bagian 2

Gemerlap indahnya malam bersama bintang-bintang berbinar terang menemani perjalanan mereka yang belum usai. Kendaraan roda empat yang dipegang kendali oleh Tian terus melaju dengan kecepatan sedang, menuju rumah sang puan yang mereka kira sejak tadi masih tertidur pulas di belakang. Tidak terasa menit demi menit berlalu, membuat ketiga insan tersebut sudah sampai di kediaman gadis cantik yang turut menemani kegiatan siang tadi.

“Lo mau turun sekalian?” tanya Tian yang melihat Danta sedang melepaskan sabuk pengaman kursi penumpangnya.

“Gue mau pamit dulu sama orang tuanya, gak enak,” jelas Danta membuka pintu mobilnya.

“Eh bentar, gue ikut gak?”

“Ya lo mau ikut atau nggak?”

“Nggak deh, titip salam aja. Itu anaknya di belakang lo bangunin dulu,” titah Tian pada sahabatnya, anggukan dari Danta adalah tanda bahwa lelaki itu paham apa yang harus dilakukakan.

Danta langsung membuka pintu belakang mobil dengan perlahan, melihat paras gemas sang gadis yang masih memejamkan mata. Ia terkekeh pelan.


Sekarang, terdapat dua insan yang saling memandangi diri mereka satu sama lain di halaman depan rumah Lala. Danta sedikit bingung, pasalnya sang puan tidak mengucapkan kalimat apapun sedari tadi.

“La?” tanya Danta memastikan keadaan lawan bicaranya, melihat netra puan di hadapannya sangat berkaca-kaca.

Tanpa aba-aba apapun, Lala langsung menempatkan dirinya di hadapan Danta, memeluknya dengan erat, menenggelamkan wajahnya di bidang pemuda itu, meloloskan tangisan yang sudah ia tahan sejak perjalanan tadi. Danta tersontak kaget, ia membalas pelukan tersebut, rasa hangat menjalar bagi keduanya di malam yang cukup dingin ini. Danta mengusap surai rambut wanitanya dengan perlahan.

“Kamu kenapa?”

Satu pertanyaan yang membuat gadis kecilnya itu semakin larut dalam tangisan. Tidak ada suara, namun Danta bisa merasakan tangisan itu.

Am i hurt you?” Lagi-lagi Danta bertanya karena belum mendapatkan balasan apapun dari pertanyan sebelumnya.

Lala mendongak, ia menggeleng pelan. Menatap fokus lelaki di hadapannya, kini mereka saling bertatapan.

“Maaf, maaf kalau aku gak sopan meluk kakak tiba-tiba. Tapi biarin aku meluk kakak, lima menit aja, ya?” Danta mengangguk mendengar tutur kata sang puan. Dirinya masih tidak menangkap apa alasan memeluknya, tapi yang jelas, mungkin saat ini ia sedang butuh ketenangan. Belum lama setelahnya, Danta meregangkan pelukan tersebut, mengusap deraian air mata yang masih tersisa di wajah Lala.


Danta berpamitan dengan keluarga Lala, berapa basa-basi singkat ia lontarkan guna mencairkan suasana. Dirinya bergegas menuju mobil di seberang jalan tadi. Namun, sang puan kembali menghampirinya, memberikan pesan terakhir sebelum ia benar-benar berpisah malam itu.

“Makasih ya kak, makasih udah mau percaya sama aku untuk tahu rahasia terbesar kakak. Kamu hebat! Kak, jangan nyerah ya? Kita gak tau besok ada kejutan apa,”

Senyum Danta merekah, tangannya bergerak ke atas, menepuk pelan kepala gadis itu lalu mengusapnya lembut. Seluruh tubuhnya menghangat dengan hati yang haru.

“Makasih La, kakak pergi dulu, jangan nangis lagi, oke?” Ucapan terakhir dari pria bertubuh jangkung itupun dibalas dengan senyuman hangat dari Lala.

Danta berjalan menuju mobil dengan perasaan bahagia. Lega rasanya mempunyai orang-orang di sekelilingnya yang mau menerima kekurangannya. Mungkin, di lain kesempatan, terbuka adalah jalan akan ditempuh, mencoba membuang rasa yang dirinya takutkan selama ini.

@zilnieboss