Tentang Danta bagian tiga

[Danta POV]

Maaf, maaf, dan maaf. Itu yang berulang kali terucap oleh saya. Saya hanya merasa, saya terlalu kacau, untuk semua. Dari rumah, segala keberanian saya kumpulkan, saya persiapkan. Rasanya susah, berat sekali untuk mengakui dan membagi cerita mengenai apa yang terjadi pada saya selama ini. Saya sudah berada di cafe sejak siang tadi, Tian datang tak lama saat saya baru saja sampai. Disusul Yudi yang dari sorot matanya, jelas terletak kebingungan disana. Bahkan, dari awal ia tiba, ia masih menganggap percakapan di grup kami sebagai guyonan semata. Hening, lidah saya kelu, kaku seketika. Rasanya begitu susah membuka suara, susah menuturkan kalimat demi kalimat, sehingga saya berkata “Tunggu Jesse dulu, gue jelasin kalau udah lengkap.”

Harapan saya untuk menunggu Jesse datang, entah mengapa semakin lama semakin memudar. Terhitung sudah lima jam sejak yang lain berkumpul, sahabat saya yang satu itu belum kunjung juga menampakkan batang hidungnya. Hari semakin petang, sebentar lagi larut menyelimuti kami. Semuanya hening, Tian yang terus saja menghubungi Jesse tetapi tak ada jawaban, Yudi yang juga sudah terlihat muak menunggu, sementara saya yang masih kebingungan harus memulai darimana. Lima jam bukan waktu yang singkat, saya rasa Jesse memang benar-benar tak ingin datang sekarang. Saya mulai membuka percakapan, ketika sebuah kalimat mulai terucap oleh saya, Jesse tiba menghampiri kami.

“Anjing lo Jes, lima jam kita nungguin lo doang, bego,” cecer Yudi begitu saja. Jesse tak memberikan reaksi apapun, dirinya langsung duduk di kursi kosong meja kami. Saya mulai mencoba membagi cerita betapa rumitnya masalah, atau mungkin lebih tepatnya saya yang membuat segala sesuatu-nya terlalu rumit?

Saya menceritakan semuanya dari awal, bagaimana dua tahun lalu saya telah didiagnosa mengidap kanker hati. Bagaimana sedari kecil saya memiliki imun tubuh yang lemah, bagaimana satu persatu penyakit lain datang menghampiri. Tentang Ghina, tentang saya, tentang Mamah, tentang segala sesuatu yang terjadi di hidup saya. Saya membagi cerita dengan Jesse dan Yudi persis seperti apa yang pernah saya ceritakan kepada Tian. Tidak kurang, dan juga tidak dilebihkan.

“Ini kan, yang mau lo tau?” ucap saya pada Jesse. Jesse menangis, ini pertama kalinya saya melihat pria berbadan bongsor itu menangis. Saya mencoba menyembunyikan tawa. Yudi juga menangis kala itu, saya rasa situasinya terlalu menyedihkan, hingga saya membuka suara. “Ah cengeng lo pada, gue gapapa, berasa sedih banget cerita hidup gue kalau lo berdua sampai nangis gini.”

“Bangsat,” lolos Jesse.

“Gue?”

“Gue. Gue yang bangsat. Bisa-bisanya lo ngalamin itu semua tapi gue gak tahu apa-apa, gue gak ngelakuin apa-apa, gue gak ngebantu apa-apa. Anjing lah, selama ini gue iri sama lo Dan, gue rasa hidup lo itu udah sempurna banget. Hidup enak, inceran cewe-cewe, IPK tinggi, gue iri banget. Tapi ternyata gue salah. Sorry, gue gak berguna banget jadi temen,” tutur Jesse.

“Dan, mau lo cerita ke kita atau nggak, itu hak lo. Tapi harusnya gue lebih peka kalau lo ada masalah. Selama ini, kalau gue ada masalah, lo selalu ngebantu gue. Butuh duit buat bayar kostan, susah ngerjain tugas ini itu, lo selalu coba buat bantu kita-kita. Tapi lo malah nyimpen semuanya sendiri, gue ngerasa gak guna aja,” timpal Yudi.

Berulang kali kata maaf saya ucap, berulang kali juga mereka mengucap hal yang sama. Hari ini, satu beban masalah di hidup saya seolah terangkat. Saya mampu, saya bisa menceritakan pusat masalahnya kepada mereka. Memang awalnya kurang berjalan dengan baik, pengakuan ini diawali dengan tiba-tiba, tapi saya merasa lebih lega. Di lain kesempatan, saya janji, Mamah dan Ghina ada target selanjutnya pengakuan ini saya haturkan. Jika kesempatan, masih berpihak kepada saya.