Tentang Ghina

Beralih dari cerita sang kakak, kini ada dua insan yang masih berada di dalam mobil sejak sore tadi. Ya, melanjutkan cerita sebelumnya, Refi dan Ghina masih bersama. Awalnya Refi ingin mengajak Ghina makan malam bersama di sebuah restoran dekat studio lukis tadi. Namun, Ghina terlanjur malu, ia tak berani keluar dari mobil karena mata sembab yang masih melingkar di wajahnya. Refi mengajak Ghina untuk makan makanan pinggir jalan, ia berpikir gadis itu tetap bisa mengkonsumsi makanan tersebut di dalam mobil, tanpa harus ke luar, tanpa harus ada yang melihat mata sembabnya. Dua menu pecel ayam telah dipesan. Refi membawa santapan itu menuju mobilnya, menghampiri gadis cantik di dalam sana. Kembali duduk di kursi kemudi, mereka berencana menyantap hidangan di dalam mobil.

“Makanan datang!!”

“YEEYY!!!!” sambut Ghina bersemangat, rasa girang yang mampu membuat teman lelakinya itu tersenyum.

Ghina telah menerima makan malamnya, Refi melihat wajah gadis itu, seperti kebingungan mencari sesuatu.

“Nyari apa?” tanya Refi.

“Sendoknya mana?” tanya Ghina, sebenarnya ia tidak biasa dengan makanan seperti ini, namun, ia ingin mencoba sesuatu yang baru.

“Hahaha kok pakai sendok?”

“Loh? Terus pakai apa?”

“Lo gak pernah makan pecel ayam apa gimana sih?”

“Pernah! Jangan meremehkan ya! Gue sama kak Danta pernah makan beginian,”

“Terus pakai apa? Sendok?”

“Pakai.. apa ya? Gue lupa, it's been a long time ago,” jawab Ghina seadanya.

Refi menggelengkan kepalanya pelan, melihat ke arah wanita dengan rambut terurai yang mengenakan cardigan berwarna cokelat itu.

“Kalau gue sih makannya pakai tangan, lebih enak. Tapi kalau lo mau pakai sendok, bentar, gue minta ke abangnya dulu,”

Ghina menahan pergerakan Refi yang hendak keluar, ia ingin mencoba hal yang dikatakan pria itu barusan.

“Makannya pakai tangan kan? Yaudah gue mau pakai tangan juga,” Refi mengangguk, terkekeh dengan tanggapan Ghina.

“Cuci tangan dulu, itu disana, mau gue anterin gak?” ucap Refi mengarahkan.

“Gak usah, gue keluar sebentar aja, pinjem kacamata lo dong, biar mata gue gak kelihatan lagi bengkak banget,”

Refi mengiyakan permintaan Ghina. Dibukanya dasbor mobil dan langsung mengambil kacamata yang tersedia di sana. Ia berikan benda berwarna hitam itu kepada Ghina.


Usai sudah kegiatan makan malam mereka. Cukup lama, empat puluh menit berlalu bagi keduanya. Jangan tanya kenapa, karena Ghina memang terbilang cukup lama dalam menyantap makanan, ditambah lagi dengan cara baru yang membuat waktu makannya semakin lama. Kondisi jalanan yang cukup sepi membuat mereka berdua keluar dari dalam mobil. Mata Ghina sudah tidak terlalu bengkak, jadi ia rasa sudah aman untuk keluar. Refi menyenderkan tubuhnya di bagian depan mobil. Mengarahkan Ghina untuk berada di sampingnya.

“Gue malu, kenapa setiap jalan sama lo, harus selalu dalam keadaan gue lagi nangis atau lagi kesusahan?” buka Ghina memulai percakapan.

“Dari yang awalnya kita ketemu karena gue terlambat, terus waktu itu lo nganter gue pulang karena gue gak ada jemputan, nemenin gue mergokin Saka lagi kissing di bar, ngelihat gue nangis gara-gara nungguin Saka di halte, dan sekarang? lo harus ngelihat gue nangis gara-gara Saka lagi,”

“Takdir, mungkin? Tandanya gue ditakdirin buat selalu nemenin lo kalau lagi kesusahan,” jawab Refi yang masih fokus melihat ke arah jalan.

“Ih bahasanya berat banget, emang lo malaikat? Turun dari langit buat ngebantu gue? Hahaha mana ada malaikat emosian kayak lo,”

“Kurang ajar,”

“Hahaha, tapi makasih. Big thanks buat lo, serius deh. Walau lo ngeselin, tapi hari ini gue bahagia banget bisa jalan sama lo,”

Refi tak membalas ucapan sang puan barusan, dirinya hanya tersenyum, tersipu malu dengan perkataan yang kelewat jujur itu.

“Lo hebat deh, bisa lepas dari hubungan toxic lo itu, cape gak? Selama ini terperangkap terus?”

Ghina melirik Refi sekilas, pertanyaan yang selalu dilontarkan bagi siapapun kepada dirinya. Mungkin, sebagian besar orang menganggapnya gadis bodoh karena selama ini tetap mempertahankan hubungannya itu.

“Gue bego ya, Ref? Gue terlanjur sayang sama Saka. Gue tau, hubungan gue ini toxic dan itu yang bikin gue gak bisa lepas dari dia. Saka selalu ngancem gue kalau gue berani minta putus. Dia bilang, seharusnya gue bersyukur karena ada cowo yang mau nerima gue, dia bilang gak akan ada cowo yang mau nerima cewe yang bahkan orang tuanya sendiri gak nganggep dia. Well, dia tau kalau Mamah kurang peduli sama gue, dia tau kondisi keluarga gue gak seindah yang media bilang. Itu yang selalu dia jadiin tameng, gue takut kalau gue putus sama dia, dia bakal nyebar rumor yang aneh-aneh tentang keluarga gue. Gue gak mau, gue udah cukup bikin Mamah marah, gue gak mau nambah masalah buat dia lagi,” tutur kata panjang dilontarkan Ghina. Ia hanya ingin mengeluarkan apa yang ia rasakan selama ini. Dia hanya.. Takut. Takut akan kemungkinan-kemungkinan yang belum dan mungkin tidak akan pernah terjadi. Terlalu banyak pikiran menakutkan yang mengerubungi kepalanya.

“Terus, kok sekarang berani?” tanya Refi yang sedari tadi menatap lekat wajah gadis di sampingnya.

“Gue udah capek banget, gue ngerasa Saka udah terlalu jauh nyakitin gue. Gue gak mau buat kak Danta kecewa lagi karena gue milih orang yang salah,” kata Ghina dengan kepala tertunduk. Ada perasaan bersalah menghampirinya terhadap sang kakak. Kak Danta yang selalu menyayangi dirinya, Kak Danta yang selalu mengerti jika ia sedang dalam kesulitan, namun dirinya malah memilih pria yang jelas-jelas hanya memberinya luka. Seraya mengabaikan perkataan sang kakak.

“Udah ah, gue gak mau bahas Saka lagi. Eneg, males gue dengernya,” ucap Refi mencoba mengalihkan topik.

“Ghin, nanti kalau si cowo brengsek itu ngancem lo lagi, kasih tau gue aja, biar dia gak berani macem-macem sama lo lagi,”

Ghina hanya tersenyum, mengangguk pelan tanda paham dengan pernyataan Refi.

“Btw, katanya lo kalau mau bawa gue jalan harus izin Kak Danta dulu, emang lo bisa hubungin Kak Danta? Gue daritadi chat aja belum dibalas,” tanya Ghina penasaran.

“Gue udah izin, gue udah ngirim email ke Kakak lo, lengkap dengan CV dan data diri gue. Jadi Kakak lo gak perlu khawatir, karena kalau misal nih ya misal, gue macem-macem sama lo, dia punya data gue lengkap,” jelas Refi panjang lebar. Pria ini seperti sudah siap dengan segala macam kemungkinan yang ada. Ghina termangu dengan perkataan Refi. Pria ini terlalu niat, pikirnya.

“Gila, niat banget,”

“Haha, udah yuk? Pulang, kalau gak jalan sekarang nanti sampai rumah lo malem banget yang ada. Habis ini jangan nangis lagi, cukup, simpen air mata lo, jelek tau kalau nangis terus,” ajak Refi kembali masuk ke dalam mobil.

“Bawel, emang gue jelek ya sekarang? Kan habis nangis,”

Refi mengarahkan pandangannya ke hadapan Ghina. Menangkup wajah cantik itu dengan perlahan. Memperhatikan dengan jelas.

“Nggak ah, tetep cantik aja,”

“Modus Lo! Modus kan? Modus ya lo megang-megang gue!!” Ghina mengejar Refi ke dalam mobil, karena setelah aksinya tadi, sang pria langsung bergegas masuk ke dalam mobil menahan sekuat tenaga agar senyuman tidak terukir di wajahnya. Meninggalkan Ghina di luar yang tadi masih terdiam, tubuhnya membeku.

Keduanya melanjutkan perjalanan, malam ini sepertinya akan terasa indah bagi keduanya.