zilnieboss

Ghina melangkahkan pengampunya dengan tergesa-gesa. Jujur saja, ia sangat malas. Namun, apa boleh buat jika sang kakak sudah bertindak. Sampailah dirinya di puncak tertinggi bagian rumahnya. Melihat sang kakak yang sedang terduduk meratapi langit, surai milik Danta sedikit terhantam oleh semilir angin yang berlalu-lalang.

“Kak, ini kita mau belajar disini?” buka sang gadis.

“Duduk sini,” Danta menggerakkan tangannya, memberikan tanda pada adiknya.

Ghina hanya bisa menuruti kakaknya, ia melangkahkan kaki bergerak mendekati Danta, mengistirahatkan dirinya di samping pria itu. Danta menarik nafas panjang, pandangannya menetap pada Ghina. Mencoba memulai tujuannya.

“Gue cuma mau ngajak lo sharing, gue rasa terlalu berat kalau langsung ngerjain soal di buku itu,” ucap Danta yang menunjuk setumpuk buku di genggaman sang adik.

Ghina memukul lengan Danta pelan, ia merasa dipermainkan sekarang.

“Terus kenapa lo suruh gue bawa kesini? Nyusahin deh,”

Danta hanya terkekeh, ia tahu reaksi sang puan akan seperti ini padanya. Danta kembali mengedarkan pandangannya kepada langit biru di atas sana. Cuaca pagi hari ini tak terlalu panas, cocok untuk mereka.

“Apa yang lo bingung?”

“Semuanya, gue bingung harus mulai darimana. Gue bingung kalau temen-temen gue nanya jurusan apa yang bakal gue ambil, gue bingung ...”

Danta mengangguk, ia paham apa yang dikhawatirkan adiknya.

“Gue tau lo suka seni, kenapa gak dicoba aja?”

“Gue sempet kepikiran jurusan DKV sih Kak, tapi gimana ya ...”

Danta menaikkan alisnya, tanda penasaran atas pernyataan sang adik yang menggantung.

“Gue tau Mamah gak bakal setuju,” sambungnya.

“Gue bakal dukung lo. Gue yang bakal ngeyakinin Mamah kalau lo punya pilihan atas hidup lo,” tutur Danta penuh semangat.

Ghina heran atas reaksi sang kakak. Mengapa ia sangat exicted?

“Lo kenapa deh? Semangat banget?”

“Gue seneng, Ghin. Gue seneng bisa denger apa yang lo pengen, gue seneng ketika tau lo punya plan untuk hidup lo sendiri.” Danta tersenyum saat membalas ucapan sang adik.

“Karena gue tau rasanya gak punya pilihan dalam hidup,” lirihnya.

Bugh

Satu pukulan yang keras singgah tepat di wajah Saka. Pukulan dari Refi mampu meninggalkan lebam dan memar di area tersebut. Semua atensi tertuju pada keduanya, pasalnya ini terlalu mendadak dan tiba-tiba.

Fuck, maksud lo apa?” tanya Saka yang bingung atas perlakuan yang ia dapatkan.

“Asal lo tau, diluar ada cewek yang rela nyamperin lo tengah malem kesini. Dia panik, khawatir sama lo, dia ngehubungin semua temen-temen lo supaya tau keadaan lo sekarang. Dan lo? Disini malah main sama cewek lain. Brengsek.”

Saka bangkit dari posisinya, mencengkeram kerah sang lawan bicara dengan goyah karena masih terpengaruh alkohol.

“Jangan ikut campur.”

Bugh Bugh Bugh

Refi mendapatkan bogem mentah balasan dari Saka yang menatapnya penuh dengan amarah. Aksi saling menyerang pun terjadi, para pengunjung dan Ghina yang sudah kembali ke club tersebut pun mencoba memisahkan mereka berdua. Ghina menggenggam tangan Refi, menyeretnya keluar mencoba mengakhiri ulah yang dilakukan temannya itu.

“Udah Ref, udah.”

“Kenapa? Mau marahin gue karena udah ngehajar Saka?”

“Nggak, justru makasih. Udah ngewakilin gue buat nonjok dia. Pulang yuk? Gue gak mau di tempat ini lagi.”

Pesta malam memikat setiap mahasiswa untuk datang di acara ini. Wijaya bisa terbilang awam dengan lingkungan sekitar, pasalnya dia bukanlah seorang mahasiswa dari acara kampus tersebut. Dia cukup terkenal karena bisa dibilang pengusaha muda tersukses kala itu. Wanita mana yang tidak akan terpikat dengannya? Sosoknya yang ramah, tampan, dan kaya raya menjadi pujaan setiap wanita yang melihatnya.

“Hai, Wijaya. Lama tidak berjumpa,” sapa seorang pria dengan blazer warna merah maroon.

“Ah, Amri? Hahaha kebetulan kita bisa bertemu di sini,” balas Wijaya hangat.

Mereka adalah teman lama, teman seperjuangan Wijaya waktu ia masih duduk di bangku SMA.

“Tidak juga. Saya salah satu panitia penyelenggara acara ini, jadi bukan suatu kebetulan jika kita bertemu.”

Wijaya mengangguk menyeringai, ia senang bisa bertemu dengan teman lama saat ini. Setidaknya ia tidak terlalu merasa asing sekarang.

Di detik selanjutnya, seorang perempuan datang dengan gaun minimalis yang begitu indah. Anggun sekali, sehingga semua netra terpicu padanya.

“Celia, kemarilah,” ajak Amri yang melihat perempuan tersebut sedang sedikit kebingungan.

“Kamu mengenalnya?” tanya Wijaya yang melihat fokus arah datang perempuan itu.

“Tentu. Celia kenalkan ini Wijaya, dan Wijaya kenalkan ini Celia. Dia mahasiswa baru jurusan kedokteran di kampus kami,” tutur Amri mencoba memperkenalkan mereka satu sama lain.

Wijaya dan Celia memandangi satu sama lain, wajah indah sang puan membawanya tak fokus hingga salah tingkah.

“Astaga, saya lupa. Ah begini saja, kalian berdua saya tinggal dulu ya? Ada sesuatu hal yang harus saya urus. Saya rasa kalian cocok untuk berbicara bersama, duluan.” Amri meninggalkan dua insan tersebut di tengah keramaian pesta yang sedang berlangsung, ini mungkin akan canggung bagi keduanya.


Tepat jam dua belas malam, mereka memutuskan untuk keluar dari pesta tersebut. Pesta tahun baru yang sangat menyenangkan bagi para mahasiswa yang sedang melepas penat. Pikiran awal yang menyatakan bahwa mereka akan merasa canggung adalah salah besar. Faktanya, keduanya sangatlah selaras dan cukup baik membangun kehangatan satu sama lain. Sialnya, mereka sama-sama sedang dalam pengaruh alkohol sekarang.

“Boleh saya mengantarmu pulang, Celia?”

“Ya, tentu saja.”

Entah apa yang sedang dipikirkannya, Wijaya menatap lekat netra sang puan dihadapannya. Ia bisa merasakan ketenangan dan kedamaian jika berada bersamanya. Aneh bukan? Bagaimana bisa seseorang yang baru saja kau temui bisa membuat afeksi ini terhadap dirinya.

Wijaya tersenyum membelai lembut surai rambut Celia, ia menginginkan wanita itu bersamanya.

“I wish, i can take you to a place where we can spend the night together, Celia.”

“You wish?”

“Yes, i wish.”

Kala itu, malam berubah menjadi malam yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Malam yang penuh akan kejutan dari keduanya, malam yang menjadikan mereka saling bertukar afeksi penuh, dan malam dimana awal kehidupan baru bagi mereka segera dimulai.

PLAKKK

Tamparan keras berlabuh di wajah Wijaya, bentuk kemarahan seorang Ibu kepada putranya.

“Kamu bilang apa? Hamil? Bodoh.” ucap wanita tersebut.

“Bu, maaf.” lirih Wijaya.

“Kamu membuat reputasi keluarga saya hancur, Wijaya. Saya sekolahi kamu tinggi- tinggi, ini balasannya?” sambung sang puan terhadap anaknya.

“Pergi kalian dari rumah saya. Sekarang!”

“Saya tidak sudi melihat kalian berdua. Kalian hanya sepasang kekasih hina. Pergi!” akhirnya.

Wijaya menggeret koper yang dipersiapkan, menggenggam tangan sang kekasih dengan erat, melangkah keluar dari tempat itu, mencari kehidupan baru untuk mereka.

Malam itu, setelah Danta memakirkan mobilnya di garasi firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk akan terjadi.

Tepat setelah ia memasuki rumah, sebuah tamparan dengan cepat menyambutnya.

PLAKKK

“Mah ... “

“Jam berapa sekarang? Tengah malam baru balik. Jadi gini? Kelakuan kamu di rumah kalau mamah gak ada?” Beribu pertanyaan terlontar langsung kala itu.

“Danta habis futsal, Mah.”

“Hah? Apa kamu bilang tadi? FUTSAL? Kamu buang buang waktu tau gak? Pikirin tuh adek kamu, kasih contoh yang baik. Pantesan anaknya suka kelayapan, kamu sendiri aja gak bener.”

Ya, seperti dugaan. Apapun itu pasti akan selalu dikaitkan kepada sang adik. Danta menarik nafas dalam-dalam. Mencoba memahami keadaan, mungkin saja mamahnya sedang lelah karena pekerjaan dan sedang meluapkan emosinya.

“Mamah baru pulang?” tanya Danta pelan.

“Iya. Mamah baru pulang karena pekerjaan, gak seperti kamu yang kelayapan gak jelas.”

“Maaf mah.” ujarnya kembali meminta maaf.

Sudah satu jam Ghina, Lala, dan Jeje berada di dalam bilik milik Ghina. Seperti rencana awal, katanya sih mereka ingin belajar bersama. Nyatanya? Sedari tadi mereka hanya bersenda gurau, menonton film, dan tipikal remaja pada umumnya, tidak lengkap rasanya jika tidak membicarakan hal random.

“Selesai, yeey!” sorak Lala yang baru saja menyelesaikan pekerjaan rumahnya.

“HAH? DEMI APA?” teriak Ghina dan Jeje berbarengan menyudahi aktivitas mereka.

“Hehe, habisnya aku bingung kalian ngomongin apa, jadi aku ngerjain duluan deh. Liat aja tugas aku sini, maaf yaa?” tutur Lala lembut.

“Ngapain minta maaf, berasa galak banget dah gua,” jawab Jeje.

“Yaa maaf? Tadi katanya mau belajar bareng, tapi aku malah ngerjain duluan.”

“HAHAHAHAH alibi doang itu, aslinya emang kita berdua mau nyalin tugas. Makasih ya bestie,” ucap Ghina sambil tertawa.

“Laper gak sih?” sela Jeje.

“Laper sih, ambil makanan gih di bawah,” ujar Ghina yang masih sibuk menyalin tugas sahabatnya itu.

“Kalian masih nugas, apa aku aja yang ambil?” sahut Lala menawarkan diri.

“Ih baik banget emang temen gue satu ini. Makanannya ada di dapur, sekalian bawa cola yang ada di kulkas ya.”

“Gapapa? Buka buka kulkas kamu?”

“Gapapa, santai aja.”


Lala cukup kebingungan saat berada di dapur rumah Ghina. Snack dan beberapa jajanan terletak di rak yang cukup tinggi, ia tak sampai.

“Yahh, gimana ambilnya ya? Bibi kayaknya lagi keluar deh, mau balik ke atas tapi nanti mondar mandir jadinya,” gumam Lala yang masih asik menggapai tempat itu.

Sedikit lompatan dan beberapa loncatan telah dilakukan, tetapi sepertinya sia-sia.

“Eh? Ngapain?” tanya Danta yang sedang menuju ke dapur untuk mengambil air mineral.

“Eh, emm anu kak... disuruh Ghina ambil snack, tapi aku ga sampai,” gugupnya.

Sungguh, ini pertemuan pertama paling canggung untuk keduanya. Rasanya Lala ingin pergi sekarang juga dari hadapan Danta. Malu, bingung, campur aduk deh rasanya.

“Gue ambilin sini. Lain kali, minta tolong aja, daripada loncat loncatan nanti jatuh.”

“Hehe, iya kak, maaf.”

“Lala yuhuuuu, eh? Kalian lagi ngapain nih? Reunian?” teriak Ghina yang sedang menghampiri keduanya.

“Makasih ya kak.” Lala tersenyum, menggapai benda yang diberikan Danta.

“Oh, gue dicuekin nih,” cetus Ghina.

“Gajelas lo bau.” Danta menutuk kepala Ghina menggunakan botol air mineral yang ia bawa, melewatinya dan bergegas ke lantai atas.

“KOK KURANG AJAR SIH? SAKIT ANJING.”

“Heh! Mulutnya,” teriak Danta dari lantai atas.

Ghina yang sejak tadi hanya memanjatkan doa agar dirinya tidak terlambat pun akhirnya sampai di tempat yang ia tuju, sekolah. Ia tahu bahwa doanya itu tidak bisa memperlambat waktu, ataupun membuat ojek online yang ia tumpangi jadi secepat Rossi. Tapi setidaknya, ia berharap itu bisa menyelamatkannya dari satpam sekolah dan guru piket yang berjaga.

“Pak, stop disini aja. Makasih ya, kembaliannya buat bapak aja,” ucap Ghina sembari memberi beberapa lembar Rupiah kepada ojek online tersebut.

“Yahh, bapaknya jaga depan. gue masuk lewat mana ya? samping atau belakang? samping pasti pintunya di kunci, aelah manjat pagar belakang aja dah.” Monolog Ghina pada dirinya sendiri, jujur saja ia sekarang bingung harus bagaimana.

Ghina berlari ke area belakang sekolah, tidak ada pilihan lain selain memanjat pagar sekolah agar dirinya bisa masuk ke dalam. Ghina mengambil kursi yang terdapat di sekitar situ, bersiap untuk menjadikannya tumpuan.

“Ngapain?” tanya pria di belakang Ghina.

“Anj- astaghfirullah gue kaget, ya kelihatannya aja sih lagi ngapain,” balasnya kaget.

Pria tersebut hanya mengangguk, di tangannya terdapat tumpukan kertas yang sedang dirangkul.

“Ngapain manjat? Mending masuk lewat gerbang samping,” usul pria tersebut.

“Gerbang samping kan dikunci?”

“Gue ada kuncinya, buru sini,” ujarnya sembari melangkahkan kaki mendahului Ghina.


Pria yang Ghina temui tadi membuka akses mereka untuk masuk ke dalam sekolah. Tanpa memanjat, tanpa harus bersusah payah menghindari satpam sekolah dan guru piket yang berjaga.

“Makasih,” kata Ghina tersenyum canggung.

“Bantuin gue bawa ini ke ruang guru dulu,” balas pria tersebut.

Mereka berdua keluar dari ruang guru setelah meletakkan beberapa lembar soal tadi di meja Bu Ratna. Guru biologi yang menyuruh Refi untuk memfotokopi beberapa lembar soal di belakang sekolah tadi.

“Gue Refi, Refi Aditya. Ketos, tapi baru lengser periode ini. In case lo gatau.” Refi menjulurkan tangannya kepada wanita dihadapannya.

“Ya, gue Ghina, Adhiva Ghina Wijaya. Udah punya cowo, jadi jangan suka sama gue,” teriak Ghina sambil berlari, melambaikan tangan kepada pria dihadapannya tadi.

“DIH? Cewe gajelas!” cerca Refi.

Aji berada di depan akses gudang tua yang dimaksud. Jujur saja, ia sedikit takut untuk masuk. Pasalnya, ia telah mengetahui maksud manusia yang berada di dalam sana.

Ceklekkk

“Bara, lo udah da.. loh? Aji?” Wanita yang berada di dalam pun terkejut, bukan pria ini yang ia harapkan untuk datang.

“Kenapa? Lo kaget?” sahut Aji menatap muak wajah wanita di depannya.

“Lo pikir gue gatau rencana lo ngajak abang kesini apa? Stupid.” sambungnya lagi.

“Gue gak paham maksud lo deh, lo ini kenapa?” Sementara, wanita tersebut masih berpura-pura polos guna menutupi aksi yang akan dilakukan.

“Oh, lo gak paham. Bisa jelasin ini?” Aji memutar rekaman suara tempo hari.


“Tas yang tempo hari gue titip ke lo itu, isinya voice recorder.”

“Hahaha sialan. Bisa-bisanya gue ketauan sama bocil kayak lo.” Raya tertawa remeh sembari berkacak pinggang, menatap langit-langit.

“Lo kenapa sih? Serius banget. I just wanna play with your brother.”

“Main?” tanya Aji bingung.

“Iya main. I can take you to the hell, dengan cara dan waktu sesuai yang kalian mau. Seru kan?” Raya mencoba menjelaskan Permainan yang akan ia lakukan.

“Berapa orang yang pernah lo ajak main kayak gini?”

“Eumm, Dua belas. I guess.. Why? Lo mau main sama gue juga? Hahaha.” Tawa yang terdengar mengerikan. Melengking dan berulang.

“Main? Dengan cara lo ngehabisin nyawa orang, itu lo sebut main? Orang gila.”

“No, it's not.”

“Apa yang lo mau dari abang?” tanya Aji mencoba mengulur waktu lebih lama lagi. Seseorang yang ia tunggu sedari tadi tak kunjung datang. Ia mulai cemas.

“Lo tuli? gue mau main sama abang lo. His blood is so sweet. And i like it.”

“Gue gak sengaja nyicip, waktu abang lo lecet di kampus hahaha. Tapi gue belum nyoba punya lo sih, mungkin lebih manis?”

Raya merogoh pistol dari saku celananya. Bersiap untuk membidik dan menghabisi pria di hadapannya.

🚨NIINUU NIINUU🚨

“Saudara Raya Anatasya, anda sudah terkepung. Letakkan senjata dan serahkan diri anda.” Di depan gudang tersebut sudah penuh dengan para polisi dan aparat yang berkumpul, kini Raya benar-benar terkepung.

“Hah? Ji, maksud lo apa?”

“Suprise, tadi katanya lo mau main kan?” Aji menyeringai saat apa yang ia telah tunggu dari tadi tiba.

“Brengsek.”

“Sekali lagi, saudara Raya Anatasya dimohon segera keluar dan serahkan diri anda.”

Aji bergerak mundur menuju pintu, langkah kaki itu ia gerakan sedikit demi sedikit. Membuka akses bangunan tua tersebut berniat meninggalkan wanita gila itu di dalam.

DOR

“Kalau gue gagal, lo juga gagal.”

Para aparat yang mendengar suara tembakan langsung bergegas menerobos masuk ke dalam ruangan tersebut. Menangkap dan mengunci pergerakan pelaku penembakan hari ini. Menyita dan mengamankan semua barang bukti.

“Aji, maafin abang. Abang telat ya?” Arkan menangis sembari memeluk adik kost nya tersebut, menuntunnya masuk ke dalam mobil ambulance.

“Abang... ahh A-Aji berhasil kan? Hhh Aji berhasil jagain abanghh.” Aji merintih, menahan sakit akibat luka tembak yang tepat menembus jantungnya.

“Iya Ji. Tahan sebentar ya, Aji kuat.” Suara Arkan bergetar, tangisnya semakin menjadi ketika melihat kondisi adiknya tersebut.

Sang lawan bicara hanya tersenyum, merebahkan badan bongsornya kepada Arkan. Lemas, tak berdaya.

Flashback hari dimana Bara confess

Aurel hanya tersenyum. Ia awalnya tak berpikir keputusannya untuk tetap berada di balkon, membawanya mengetahui sisi lain dari Bara yang selama ini ia kenal.

“Rel, soal penawaran gue waktu itu gimana? tanya Bara mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Penawaran apa deh?”

“Jadi pacar gue?”

“Kak? ini lo lagi bercanda ya? Ah malesin banget bercandaannya kayak gini.”

“Yang bercanda siapa? Gue beneran suka sama lo, Rel.” tegas bara menatap sepasang netra cantik gadis di sebelahnya.

“Kak? Kalau lo serius, gue minta maaf. Bagi gue, lo udah kayak abang sendiri. Abang yang care sama adeknya, abang yang ada saat gue lagi kesusahan. Lagipun, sekarang gue lagi suka sama orang, kak. Jadi maaf, gue belum bisa nerima penawaran lo tadi.”

Bingung adalah perasaan yang dirasakan Aurel saat ini. Canggung lebih tepatnya.

Bara menarik nafas panjang, tersenyum penuh harapan pada Aurel.

“Kalau nanti hati lo penghuninya udah gak ada. Kabarin gue ya? Perasaan gue bakal terus sama kok buat lo.”

“Kak, gue ke kamar duluan ya? Kayaknya masih ada tugas yang belum selesai, hehe.”

Aurel tersenyum canggung, meninggalkan balkon dengan alasan klasik bagi seseorang untuk menghindar.

“Loh, Aji baru turun tangga? Berarti dari tadi denger gue sama kak Bara ngomong dong.”

Sepi. Itulah kata yang menggambarkan keadaan balkon sekarang. Kini, hanya tersisa Bara dan Aurel yang masih menetap di balkon.

“Kak, gak ikut turun?” tanya Aurel pada Bara yang sedari tadi hanya menikmati seliwiran hembusan angin.

“Nggak ah, enak disini. Kalau mau duluan, gapapa kok.” balas Bara tanpa mengalihkan pandangannya kepada lawan bicara.

“Gue disini aja deh kak, anginnya enak, hehe.”


“Oh iya Rel, gue mau nanya deh. Lo tau gak Aji tuh di sekolah lagi deket sama siapa?” tanya Bara memecah keheningan.

“Hah? Ngga sih kak, kenapa emangnya?”

“Oh. Kalo di sekolah, dia masih suka berantem?” tanya Bara lagi padanya.

“Loh, kak Bara tau?” batin Aurel.

“Hah? Aji berantem? Hahaha gak mungkin gak sih kak?”

“Loh? Lo nggak tau? bagus deh, artinya dia beneran dengerin kata-kata gue.”

“Tapi gue pernah denger kak, hari pertama ospek katanya dia masuk BK. Itu karena dia berantem?” tanya Aurel dengan sedikit ragu.

“Hahaha iya, dia berantem gara-gara nolongin gue. Gue pas SMA cupu banget deh Rel, masa gue yang digangguin tapi yang maju adek gue.” jawab Bara

“Akhirnya dia berantem dan masuk BK. Ujung ujungnya, gue yang disalahin sama nyokap. Maka dari itu, gue sering banget bilangin dia, kalau ada masalah jangan di selesaiin pakai otot terus. Eh, sekarang anaknya malah kayak bocah hahaha.”

“Oh gitu, pantesan...” lirih Aurel.

“Tapi dia itu pinter banget rel, dari kecil udah ikut banyak lomba. Hasilnya? Gue jadi dibandingin terus sama dia.” sambung Bara lagi.

“Tapi Aji hebat, dia selalu belain gue kalau ibu udah mulai banding-bandingin prestasi. Bahkan, dia yang bikin gue berani buat ngelawan penindas waktu SMA.”

Aurel masih terdiam, menyimak semua cerita yang dilontarkan Bara.

“Aneh ya? Harusnya kakak yang bisa jadi panutan buat adeknya. Gue sadar, sikap ibu ke kita berdua itu beda banget. Aji sama bang Awan dari kecil udah banyak ikut lomba, ngumpulin prestasi segala macem. Sedangkan gue? Akademik gue gak sebagus mereka, Rel. Gue beda jauh banget sama kedua saudara gue.”

“Lo hebat kak. Gak semua hal harus diukur dari segi akademik kan? Lo hebat bisa lepas dari para penindas.”

“Hahaha, persis. Sama persis kayak yang dibilang Aji ke gue. Makasih ya, Rel.” ucap Bara dengan senyum yang kembali menyeringai.

Aurel hanya tersenyum. Ia awalnya tak berpikir keputusannya untuk tetap berada di balkon, membawanya mengetahui sisi lain dari Bara yang selama ini ia kenal.

“Rel, soal penawaran gue waktu itu gimana? tanya Bara mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Penawaran apa deh?”

“Jadi pacar gue?”

“Kak? ini lo lagi bercanda ya? Ah malesin banget bercandaannya kayak gini.”

“Yang bercanda siapa? Gue beneran suka sama lo, Rel.”

Entah keduanya sadar atau tidak, sepasang mata yang sedari tadi memperhatikan mereka, kini perlahan pergi dengan perasaan buncah.

Kenapa bang? Kenapa harus Aurel?”