Tentang Danta, Tentang Ghina
Cukup lama Danta berdiam diri di depan akses kamar milik Ghina, hingga suara kenop pintu terdengar, gadis yang ia tunggu itu membukakan pintu, mempersilahkan Danta masuk. Benar, saran dari Tian ampuh dilancarkan dan terbukti berhasil. Danta memasuki kamar Ghina dengan tawa geli, cukup mudah ternyata merobohkan pertahanan adiknya itu.
“Mana cimolnya?” Tanya Ghina langsung tanpa basa-basi.
Danta langsung menaruh barang bawaannya di meja belajar adiknya. Ia berencana duduk di atas ranjang, tetapi Ghina segera mencegatnya.
“Ngapain lo? Keluar sana. Udah kan?” hardik Ghina.
“Ya nggak gitu juga, Ghina. Gue ke sini kan mau ngomong sama lo dulu,” pinta sang kakak. Ya setidaknya ada sepatah-dua patah kalimat yang bisa ia sampaikan guna meredam amarah sang adik.
“Go ahead,“
“Maaf.” Satu ucapan dari Danta yang membuat Ghina bingung, tak ada kata lanjutan mengiringi. Apa maksudnya?
“Untuk?“
Danta berjalan menuju ranjang milik Ghina, dirinya terduduk. Pandangannya mengedar ke penjuru ruangan, lalu ia pusatkan kepada netra milik Ghina. “Untuk segala sesuatu yang bikin lo marah, jengkel, atau kesel sama gue. Apapun itu, maaf.”
“Mungkin keputusan gue buat lanjut belajar ke Jerman mendadak, Ghin. Tapi yang harus lo tahu, gue punya alasan besar buat ke sana.”
Ghina hanya menghela nafas. Dirinya tak mau membahas hal ini, karena ia tahu, jika kakaknya memiliki tekad, akan susah untuk dilawan.
“Lo tahu gak sih gue benci banget sama lo?” Ghina membuka suaranya. Danta hanya terdiam, ia tahu ada kalimat yang ingin dilanjutkan oleh gadis ini.
“Gue benci keluarga ini. Gue benci Mamah, gue benci lo, Kak. Gue benci sama semua tuntutan Mamah, gue benci ketika harus dibanding-bandingin sama semua prestasi lo terus. Gue benci ketika harus tahu, dunia lo enak, Kak.”
Danta menatap lekat netra milik Ghina, miliknya berkaca-kaca sama sepertinya.
“Lanjutin,” ucap Danta dingin.
Ghina tak bisa meredam lagi emosinya, tangisnya pecah, tak dapat terbendung, tak dapat ditampung lagi.
“Lo tahu? Gue takut pulang ke rumah gue sendiri. Gue takut ketika sampai rumah yang gue terima cuma amarah dari Mamah. Dari kecil kak, gue sedikitpun gak pernah yang namanya dapet apresiasi dari Mamah, sekecil apapun itu. Sementara lo? Banyak yang support, lo pinter, punya banyak prestasi, selalu dapet atensi dari Mamah, selalu jadi nomer satu. Gue benci sama lo, Kak.”
Tangis Ghina semakin pecah, sesak mengerubungi dadanya. Begitu susah kata demi kata ia lontarkan, masih berat rasanya. Sementara Danta.. air matanya perlahan turun, dirinya masih memperhatikan sang adik dengan jelas. Sesak juga mengerubungi dada saat semua pernyataan adiknya terlontar.
“Gue benci sama lo, tapi gue juga sayang sama lo, Kak. Lo satu-satunya orang yang ada buat gue. Lo yang selalu ngasih gue hal-hal kecil, yang gak pernah Mamah kasih ke gue. Sampai kadang gue mikir, gimana kalau misal suatu saat nanti lo pergi jauh. Entah sehancur apa gue nanti, gue takut. Tapi ternyata ketakutan gue beneran kejadian.”
“Gue benci saat nanti lo ke Jerman, gue jadi gak punya siapa-siapa. Gue benci karena terlalu bergantung sama lo, Kak. Karena dari dulu, gue cuma punya lo.” Ghina mengakhiri ucapannya. Lagi-lagi tangisannya pecah, banyak air mata membasahi pipinya. Danta menarik tubuh Ghina ke dalam pelukannya. Membiarkan Ghina menangis dalam rengkuhan, tenang di dalam sana. Danta mengelus pucuk kepala Ghina, menenangkan adik satu-satunya itu.
Perlahan Danta membuka suara, “Hidup gue ... gak se-enak itu, Ghin.”
Danta juga ingin mengeluarkan semua keluh kesahnya, tapi detik selanjutnya ia memilih untuk bungkam. Diam adalah jalan terbaik, ia kembali mengingat, Ghina hanya ingin didengarkan, hanya itu.
“Capek, ya?” Satu pertanyaan keluar dari mulut Danta, dengan tangan yang masih sibuk menenangkan Ghina.
Ghina melepas pelukan Danta, dirinya menjauh. Ia mengangguk perlahan, tubuhnya lemas. Semua tenaga sepertinya sudah dikeluarkan saat menangis tadi. Kepalanya sedikit pusing.
“Lo kuat, Ghin. Lo bisa, lo hebat. Jangan pernah berusaha jadi gue, ya? Lo harus buktiin ke orang-orang, especially Mamah, kalau lo bisa jadi versi terbaik dalam hidup lo. Lo gak perlu jadi sempurna, bahkan gue gak sempurna. Dan gak ada yang namanya manusia sempurna di muka bumi ini, Ghina.”
Danta menjelaskan panjang lebar. Hebat bukan? Padahal dirinya sendiri memiliki banyak luka, banyak beban, tapi untuk adiknya, Danta berubah menjadi sosok penasihat handal. Alih-alih memilih untuk berbagi keluh-kesah, Danta justru menyimpan semua masalahnya rapat-rapat. Ia pikir, adiknya sudah menanggung beban yang berat, ia tak mau menambah pikiran Ghina. Jujur saja, saat tadi semua keluhan Ghina terucap, Danta sakit, sangat sakit.
“Jangan pernah takut saat gue gak ada. Gue gak selamanya hidup di samping lo, Ghina. Tanamin dalam diri lo, mulai hari ini atau seminggu ke depan, lo bisa tanpa gue, untuk dua tahun ke depan, dan mungkin, seterusnya.”
“Gue ikut lo aja ya, Kak? Gue susul lo, biarin gue kuliah di sana, sama kayak lo. Setidaknya gue gak bakal ngerasain sendirian di rumah, setidaknya semua ketakutan gue tentang Mamah bakal redam kalau gue di sana, sama lo.”
Danta menggeleng tanda tak setuju, karena jika benar Ghina nantinya melanjutkan studi ke Jerman untuk menemui dirinya, percuma saja. Karena Jerman, hanyalah alibi. Ghina tetap tidak akan bertemu dengannya.
“Tunggu gue, Ghin. Nanti, jangan pernah sekalipun lo nyamperin gue tanpa izin. Selama gue gak nyuruh lo datang, jangan datang,”
“Jadi selama dua tahun gue beneran gak bakal liat lo sama sekali?”
“Yes. Trust me, selama gue gak ada nanti, semuanya bakal baik-baik aja.” Ghina mengangguk paham, berat, tapi mau bagaimana lagi? Putusan kakaknya sudah bulat.
Danta hanya berharap, putusannya tidak salah. Danta memikul banyak harapan, harapan agar semua kesempatan masih bisa berpihak kepadanya. Kesempatan untuk bertemu Ghina kembali, kesempatan untuk memenuhi semua angan-angannya, dan kesempatan untuk hidup, yang lebih lama.