zilnieboss

Cukup lama Danta berdiam diri di depan akses kamar milik Ghina, hingga suara kenop pintu terdengar, gadis yang ia tunggu itu membukakan pintu, mempersilahkan Danta masuk. Benar, saran dari Tian ampuh dilancarkan dan terbukti berhasil. Danta memasuki kamar Ghina dengan tawa geli, cukup mudah ternyata merobohkan pertahanan adiknya itu.

“Mana cimolnya?” Tanya Ghina langsung tanpa basa-basi.

Danta langsung menaruh barang bawaannya di meja belajar adiknya. Ia berencana duduk di atas ranjang, tetapi Ghina segera mencegatnya.

“Ngapain lo? Keluar sana. Udah kan?” hardik Ghina.

“Ya nggak gitu juga, Ghina. Gue ke sini kan mau ngomong sama lo dulu,” pinta sang kakak. Ya setidaknya ada sepatah-dua patah kalimat yang bisa ia sampaikan guna meredam amarah sang adik.

Go ahead,

“Maaf.” Satu ucapan dari Danta yang membuat Ghina bingung, tak ada kata lanjutan mengiringi. Apa maksudnya?

Untuk?

Danta berjalan menuju ranjang milik Ghina, dirinya terduduk. Pandangannya mengedar ke penjuru ruangan, lalu ia pusatkan kepada netra milik Ghina. “Untuk segala sesuatu yang bikin lo marah, jengkel, atau kesel sama gue. Apapun itu, maaf.”

“Mungkin keputusan gue buat lanjut belajar ke Jerman mendadak, Ghin. Tapi yang harus lo tahu, gue punya alasan besar buat ke sana.”

Ghina hanya menghela nafas. Dirinya tak mau membahas hal ini, karena ia tahu, jika kakaknya memiliki tekad, akan susah untuk dilawan.

“Lo tahu gak sih gue benci banget sama lo?” Ghina membuka suaranya. Danta hanya terdiam, ia tahu ada kalimat yang ingin dilanjutkan oleh gadis ini.

“Gue benci keluarga ini. Gue benci Mamah, gue benci lo, Kak. Gue benci sama semua tuntutan Mamah, gue benci ketika harus dibanding-bandingin sama semua prestasi lo terus. Gue benci ketika harus tahu, dunia lo enak, Kak.”

Danta menatap lekat netra milik Ghina, miliknya berkaca-kaca sama sepertinya.

“Lanjutin,” ucap Danta dingin.

Ghina tak bisa meredam lagi emosinya, tangisnya pecah, tak dapat terbendung, tak dapat ditampung lagi.

“Lo tahu? Gue takut pulang ke rumah gue sendiri. Gue takut ketika sampai rumah yang gue terima cuma amarah dari Mamah. Dari kecil kak, gue sedikitpun gak pernah yang namanya dapet apresiasi dari Mamah, sekecil apapun itu. Sementara lo? Banyak yang support, lo pinter, punya banyak prestasi, selalu dapet atensi dari Mamah, selalu jadi nomer satu. Gue benci sama lo, Kak.”

Tangis Ghina semakin pecah, sesak mengerubungi dadanya. Begitu susah kata demi kata ia lontarkan, masih berat rasanya. Sementara Danta.. air matanya perlahan turun, dirinya masih memperhatikan sang adik dengan jelas. Sesak juga mengerubungi dada saat semua pernyataan adiknya terlontar.

“Gue benci sama lo, tapi gue juga sayang sama lo, Kak. Lo satu-satunya orang yang ada buat gue. Lo yang selalu ngasih gue hal-hal kecil, yang gak pernah Mamah kasih ke gue. Sampai kadang gue mikir, gimana kalau misal suatu saat nanti lo pergi jauh. Entah sehancur apa gue nanti, gue takut. Tapi ternyata ketakutan gue beneran kejadian.”

“Gue benci saat nanti lo ke Jerman, gue jadi gak punya siapa-siapa. Gue benci karena terlalu bergantung sama lo, Kak. Karena dari dulu, gue cuma punya lo.” Ghina mengakhiri ucapannya. Lagi-lagi tangisannya pecah, banyak air mata membasahi pipinya. Danta menarik tubuh Ghina ke dalam pelukannya. Membiarkan Ghina menangis dalam rengkuhan, tenang di dalam sana. Danta mengelus pucuk kepala Ghina, menenangkan adik satu-satunya itu.

Perlahan Danta membuka suara, “Hidup gue ... gak se-enak itu, Ghin.”

Danta juga ingin mengeluarkan semua keluh kesahnya, tapi detik selanjutnya ia memilih untuk bungkam. Diam adalah jalan terbaik, ia kembali mengingat, Ghina hanya ingin didengarkan, hanya itu.

“Capek, ya?” Satu pertanyaan keluar dari mulut Danta, dengan tangan yang masih sibuk menenangkan Ghina.

Ghina melepas pelukan Danta, dirinya menjauh. Ia mengangguk perlahan, tubuhnya lemas. Semua tenaga sepertinya sudah dikeluarkan saat menangis tadi. Kepalanya sedikit pusing.

“Lo kuat, Ghin. Lo bisa, lo hebat. Jangan pernah berusaha jadi gue, ya? Lo harus buktiin ke orang-orang, especially Mamah, kalau lo bisa jadi versi terbaik dalam hidup lo. Lo gak perlu jadi sempurna, bahkan gue gak sempurna. Dan gak ada yang namanya manusia sempurna di muka bumi ini, Ghina.”

Danta menjelaskan panjang lebar. Hebat bukan? Padahal dirinya sendiri memiliki banyak luka, banyak beban, tapi untuk adiknya, Danta berubah menjadi sosok penasihat handal. Alih-alih memilih untuk berbagi keluh-kesah, Danta justru menyimpan semua masalahnya rapat-rapat. Ia pikir, adiknya sudah menanggung beban yang berat, ia tak mau menambah pikiran Ghina. Jujur saja, saat tadi semua keluhan Ghina terucap, Danta sakit, sangat sakit.

“Jangan pernah takut saat gue gak ada. Gue gak selamanya hidup di samping lo, Ghina. Tanamin dalam diri lo, mulai hari ini atau seminggu ke depan, lo bisa tanpa gue, untuk dua tahun ke depan, dan mungkin, seterusnya.”

“Gue ikut lo aja ya, Kak? Gue susul lo, biarin gue kuliah di sana, sama kayak lo. Setidaknya gue gak bakal ngerasain sendirian di rumah, setidaknya semua ketakutan gue tentang Mamah bakal redam kalau gue di sana, sama lo.”

Danta menggeleng tanda tak setuju, karena jika benar Ghina nantinya melanjutkan studi ke Jerman untuk menemui dirinya, percuma saja. Karena Jerman, hanyalah alibi. Ghina tetap tidak akan bertemu dengannya.

“Tunggu gue, Ghin. Nanti, jangan pernah sekalipun lo nyamperin gue tanpa izin. Selama gue gak nyuruh lo datang, jangan datang,”

“Jadi selama dua tahun gue beneran gak bakal liat lo sama sekali?”

“Yes. Trust me, selama gue gak ada nanti, semuanya bakal baik-baik aja.” Ghina mengangguk paham, berat, tapi mau bagaimana lagi? Putusan kakaknya sudah bulat.

Danta hanya berharap, putusannya tidak salah. Danta memikul banyak harapan, harapan agar semua kesempatan masih bisa berpihak kepadanya. Kesempatan untuk bertemu Ghina kembali, kesempatan untuk memenuhi semua angan-angannya, dan kesempatan untuk hidup, yang lebih lama.

[Danta POV]

Maaf, maaf, dan maaf. Itu yang berulang kali terucap oleh saya. Saya hanya merasa, saya terlalu kacau, untuk semua. Dari rumah, segala keberanian saya kumpulkan, saya persiapkan. Rasanya susah, berat sekali untuk mengakui dan membagi cerita mengenai apa yang terjadi pada saya selama ini. Saya sudah berada di cafe sejak siang tadi, Tian datang tak lama saat saya baru saja sampai. Disusul Yudi yang dari sorot matanya, jelas terletak kebingungan disana. Bahkan, dari awal ia tiba, ia masih menganggap percakapan di grup kami sebagai guyonan semata. Hening, lidah saya kelu, kaku seketika. Rasanya begitu susah membuka suara, susah menuturkan kalimat demi kalimat, sehingga saya berkata “Tunggu Jesse dulu, gue jelasin kalau udah lengkap.”

Harapan saya untuk menunggu Jesse datang, entah mengapa semakin lama semakin memudar. Terhitung sudah lima jam sejak yang lain berkumpul, sahabat saya yang satu itu belum kunjung juga menampakkan batang hidungnya. Hari semakin petang, sebentar lagi larut menyelimuti kami. Semuanya hening, Tian yang terus saja menghubungi Jesse tetapi tak ada jawaban, Yudi yang juga sudah terlihat muak menunggu, sementara saya yang masih kebingungan harus memulai darimana. Lima jam bukan waktu yang singkat, saya rasa Jesse memang benar-benar tak ingin datang sekarang. Saya mulai membuka percakapan, ketika sebuah kalimat mulai terucap oleh saya, Jesse tiba menghampiri kami.

“Anjing lo Jes, lima jam kita nungguin lo doang, bego,” cecer Yudi begitu saja. Jesse tak memberikan reaksi apapun, dirinya langsung duduk di kursi kosong meja kami. Saya mulai mencoba membagi cerita betapa rumitnya masalah, atau mungkin lebih tepatnya saya yang membuat segala sesuatu-nya terlalu rumit?

Saya menceritakan semuanya dari awal, bagaimana dua tahun lalu saya telah didiagnosa mengidap kanker hati. Bagaimana sedari kecil saya memiliki imun tubuh yang lemah, bagaimana satu persatu penyakit lain datang menghampiri. Tentang Ghina, tentang saya, tentang Mamah, tentang segala sesuatu yang terjadi di hidup saya. Saya membagi cerita dengan Jesse dan Yudi persis seperti apa yang pernah saya ceritakan kepada Tian. Tidak kurang, dan juga tidak dilebihkan.

“Ini kan, yang mau lo tau?” ucap saya pada Jesse. Jesse menangis, ini pertama kalinya saya melihat pria berbadan bongsor itu menangis. Saya mencoba menyembunyikan tawa. Yudi juga menangis kala itu, saya rasa situasinya terlalu menyedihkan, hingga saya membuka suara. “Ah cengeng lo pada, gue gapapa, berasa sedih banget cerita hidup gue kalau lo berdua sampai nangis gini.”

“Bangsat,” lolos Jesse.

“Gue?”

“Gue. Gue yang bangsat. Bisa-bisanya lo ngalamin itu semua tapi gue gak tahu apa-apa, gue gak ngelakuin apa-apa, gue gak ngebantu apa-apa. Anjing lah, selama ini gue iri sama lo Dan, gue rasa hidup lo itu udah sempurna banget. Hidup enak, inceran cewe-cewe, IPK tinggi, gue iri banget. Tapi ternyata gue salah. Sorry, gue gak berguna banget jadi temen,” tutur Jesse.

“Dan, mau lo cerita ke kita atau nggak, itu hak lo. Tapi harusnya gue lebih peka kalau lo ada masalah. Selama ini, kalau gue ada masalah, lo selalu ngebantu gue. Butuh duit buat bayar kostan, susah ngerjain tugas ini itu, lo selalu coba buat bantu kita-kita. Tapi lo malah nyimpen semuanya sendiri, gue ngerasa gak guna aja,” timpal Yudi.

Berulang kali kata maaf saya ucap, berulang kali juga mereka mengucap hal yang sama. Hari ini, satu beban masalah di hidup saya seolah terangkat. Saya mampu, saya bisa menceritakan pusat masalahnya kepada mereka. Memang awalnya kurang berjalan dengan baik, pengakuan ini diawali dengan tiba-tiba, tapi saya merasa lebih lega. Di lain kesempatan, saya janji, Mamah dan Ghina ada target selanjutnya pengakuan ini saya haturkan. Jika kesempatan, masih berpihak kepada saya.

Entah apa pikiran gadis yang tengah termenung di depan cermin kamar mandi ini, dirinya merasa terlalu tiba-tiba menanyakan perihal hubungan mereka. Namun, gadis itu hanya bingung, benar-benar bingung. Apa pantas seorang 'teman' yang baru dikenalnya beberapa bulan lalu memberi barang-barang yang terbilang cukup mewah? Apa pantas seorang 'teman' bersikap selayaknya yang Danta lakukan pada dirinya selama ini? Bohong jika gadis itu tidak mempunyai perasaan kepada Danta. Reaksinya selama ini, jantungnya yang berdegup kencang, gerakannya yang salah tingkah, bahkan wajahnya yang memerah jika berhadapan dengan Danta, apakah belum cukup menjadi suatu tanda munculnya perasaan baru dalam dirinya? Naif, naif jika dirinya tidak terbawa perasaan dengan segala citra yang diberikan pemuda itu. Lala menatap wajahnya di cermin, ia malu, bingung, jangan-jangan selama ini hanya dirinya yang terlalu terbawa perasaan pada pria itu? Ah, semua kemungkinan terputar dalam pikirannya. Lala membasuh paras cantiknya, berencana meninggalkan toilet siswi yang sepi. Ketika langkahnya mulai bergerak, sesosok gadis lain datang menghampirinya.

“Habis chattan sama Kak Danta?” tanya Ghina secara tiba-tiba.

“Eh, Ghin, iya.” Jujur saja Lala cukup kaget dengan kehadiran Ghina. Ghina melirik paper bag yang dibawa sahabatnya itu, seperti tidak asing. “Dari Kak Danta ya?”

“Oh ini, iya, dari kakak kamu,”

“Pantesan waktu itu melipir ke store cewe sendiri, mau beliin lo ternyata,”

Ghina menatap fokus netra Lala, kedatangannya untuk menghampiri Lala bukan lah tanpa alasan. Dirinya ingin berbicara sesuatu hal dengannya, hanya empat mata. Sejujurnya ia ingin membicarakan hal ini di rumah tadi, sebelum berangkat sekolah. Namun, ada Jeje di antara mereka.

“La, gue gak tahu udah sejauh apa hubungan lo sama kakak gue, tapi yang jelas, kalau lo gak yakin dan cuma mau main-main sama Kak Danta, lebih baik jangan. Gue tahu, emang gue yang awalnya mau ngejodohin kalian. Lo sahabat gue, gue tahu banget sifat lo gimana, maka dari itu gue rasa kalian berdua cocok. Tapi semakin kesini, gue liat lo makin deket sama Kak Danta, even sama temen-temennya. Kak Danta dulu pernah diselingkuhin, dan gue gak mau Kak Danta salah milih lagi. Mantan-nya Kak Danta cuma manfaatin dia doang, habis itu kakak gue ditinggak pergi. So, yeah kalau lo gak yakin, dan cuma mau main-main aja, let him go” tutur Ghina panjang lebar. Lala kaget, ia tak menyangka Ghina akan membicarakan hal ini, dirinya seperti merasa tertuduh hanya ingin memanfaatkan Danta, terdapat sesuatu yang mengganjal pada hatinya.

“Ghin.. maksud kamu apa? Aku sama kakak kamu gak ada hubungan apa-apa. Jadi kamu gak usah takut, aku gak bakal manfaatin dia. Aku tahu, kita beda, tapi kata-kata kamu tadi seolah menyudutkan aku. Aku gak pernah minta apa-apa dari Kak Danta. Maaf Ghin, paper bag nya aku titip ke kamu ya? Tolong kasih ke Kak Danta lagi. Maaf, aku gak bisa nerima, makasih,” Lala meraih tangan Ghina, menyerahkan barang pemberian kakaknya untuk dikembalikan. Ia bergegas menuju kelas. Aneh, rasanya seperti ada sesuatu yang menusuk hatinya.

“La, maksud gue gak gitu!!” Teriak Ghina dari dalam toilet. Ghina hanya takut kakaknya mendapat wanita yang salah lagi. Ah sial, ia tahu mungkin dirinya kelewatan saat berbicara tadi. Ghina menggigit bibir bawahnya cemas, menundukkan kepalanya, perasaan bersalah seketika mendatanginya di ruangan hampa ini.

Pukul setengah tiga pagi, usai sudah Pajamas Party atau mungkin lebih tepatnya pesta perayaan berakhirnya hubungan antara Saka dan Ghina sebagai sepasang kekasih yang digelar oleh ketiga sahabat. Cukup larut bagi seorang pelajar untuk menghabiskan waktu sampai saat ini, mengingat mereka masih harus menuntut ilmu saat pagi hari di sekolah. Hening, sunyi, dan tenang. Itulah yang Lala rasakan saat terbangun di kamar mewah milik Ghina. Kepalanya sedikit pening, mungkin karena faktor jam tidur yang kurang. Pemandangan yang pertama kali ia lihat adalah bagaimana posisi kedua sahabatnya itu masih tertidur pulas tak beraturan. Lala tersenyum, ia melirik ke arah jam dinding yang terpampang di atas cermin. Ah, pukul lima pagi rupanya. Lala beranjak dari kasur, melangkahkan kaki mungilnya menuju kamar mandi, bersiap, karena ia tahu bahwa hari ini dirinya harus berangkat ke sekolah. Setelah selesai, Lala kembali melihat kedua sahabatnya masih tertidur dengan posisi yang sama, tidak berubah sedikitpun. Dirinya menggeleng, pasalnya waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi. Lala memang terbiasa bangun dini hari, kebiasaan itu telah ia terapkan sedari kecil, cukup aneh rasanya jika ia masih tertidur jam segini. Lala mencoba membangunkan Jeje dan Ghina dengan perlahan. Hasilnya? Nihil. Dengan cara yang keras saja belum tentu mereka bangun, apalagi dengan cara lemah lembut seperti ini, jangan harap kedua gadis itu dapat terbagun. Sekali lagi Lala mencoba, kali ini ada peningkatan. Jeje mulai membelalakan matanya, Ghina juga memberi reaksi yang sama. Lala tersenyum puas, ya setidaknya, usahanya tak sia-sia.

“Bangun, mandi cepet, kita berangkat sekolah,” tegur Lala.

“Hah? Ini jam berapa?” tanya Jeje yang masih setengah sadar.

“Enam,” balas Lala singkat.

“Gila lo! Ngapain bangunin gue jam segini? Kita aja masuk jam delapan, gue masih ada waktu sejam lagi buat tidur.” Ghina mengoceh, dirinya langsung memasang kembali selimut di genggamannya, berencana kembali tertidur.

“Kok tidur lagi sih? Pantesan kalian berdua suka telat, jam segini masih tidur. Dari rumah Ghina ke sekolah emang cuma semenit? Lagian kalau bangun jam segini biar prepare nya juga gak buru-buru,” tutur Lala panjang.

“Bawel lo ah! Kayak Kak Danta aja,” ceplos Ghina yang lagi-lagi terbalut selimut.

Lala tak mau melanjutkan debat lebih jauh, tak ada habisnya jika ia menanggapi debatan mereka. “Aku izin ambil minum ke bawah ya Ghin? Tapi kalian jangan tidur lagi, aku tinggal ya,”

“Mmmm,” racau Jeje dan Ghina bersamaan.

___

Sepanjang perjalanan ke dapur, ada pemandangan lain yang ia jumpai. Tidak asing, tetapi mampu menarik perhatiannya. Danta sedang tertidur pulas di ruang baca. Perlahan ia dekati pria itu, memperhatikan dengan gemas bagaimana sang adam tertidur. Tangannya dikerahkan ke bagian pundak pria yang pernah ia jadikan tempat sandaran. Danta tersontak lalu mengusap wajahnya lembut.

“Ketiduran kak?” tanya Lala penasaran.

“Oh, haha iya. Biasanya emang kalau aku lagi males di kamar, suka baca buku di sini, jadi ketiduran deh,”

Lala mengangguk, memperhatikan sekitar. Rumah ini dapat dikatakan cukup sepi bahkan cenderung sunyi. Berbeda dengan miliknya yang kalau jam segini, mungkin sudah ramai dengan lalu lalang adik-adiknya yang bersiap pergi sekolah.

“Kenapa La?”

“Tante masih tidur?”

“Mamah? Gak pulang, La. Emang biasanya jarang pulang sih, kenapa nyariin? Mau kenalan sama calon mertua?”

Demi tuhan, wajah Lala mulai memerah sekarang. Jika disandingkan dengan kepiting rebus, atau tomat, mungkin ia akan mendapat julukan itu sekarang. Danta tersenyum gemas, ia bisa melihat bahwa gadis di hadapannya sedang kebingungan sekarang, entah menahan malu, kaget atau sedang salah tingkah.

“Bercanda, La. Kenapa jadi merah gitu mukanya?”

“Hah? Nggak kak, Lala tinggal dulu ya ke kamar Ghina, mau ngecek mereka dulu, takutnya belum bangun hehe.” Lala bergegas menuju kamar Ghina. Masa bodoh dengan tujuan awalnya untuk menuntaskan dahaga, ia hanya ingin menyembunyikan wajahnya, menahan malu, pergi sesegera mungkin dari hadapan Danta. Sementara pria yang menyebabkan hal ini terjadi hanya menahan senyuman, menyembunyikan perasaan geli di dalam hatinya.

Beralih dari cerita sang kakak, kini ada dua insan yang masih berada di dalam mobil sejak sore tadi. Ya, melanjutkan cerita sebelumnya, Refi dan Ghina masih bersama. Awalnya Refi ingin mengajak Ghina makan malam bersama di sebuah restoran dekat studio lukis tadi. Namun, Ghina terlanjur malu, ia tak berani keluar dari mobil karena mata sembab yang masih melingkar di wajahnya. Refi mengajak Ghina untuk makan makanan pinggir jalan, ia berpikir gadis itu tetap bisa mengkonsumsi makanan tersebut di dalam mobil, tanpa harus ke luar, tanpa harus ada yang melihat mata sembabnya. Dua menu pecel ayam telah dipesan. Refi membawa santapan itu menuju mobilnya, menghampiri gadis cantik di dalam sana. Kembali duduk di kursi kemudi, mereka berencana menyantap hidangan di dalam mobil.

“Makanan datang!!”

“YEEYY!!!!” sambut Ghina bersemangat, rasa girang yang mampu membuat teman lelakinya itu tersenyum.

Ghina telah menerima makan malamnya, Refi melihat wajah gadis itu, seperti kebingungan mencari sesuatu.

“Nyari apa?” tanya Refi.

“Sendoknya mana?” tanya Ghina, sebenarnya ia tidak biasa dengan makanan seperti ini, namun, ia ingin mencoba sesuatu yang baru.

“Hahaha kok pakai sendok?”

“Loh? Terus pakai apa?”

“Lo gak pernah makan pecel ayam apa gimana sih?”

“Pernah! Jangan meremehkan ya! Gue sama kak Danta pernah makan beginian,”

“Terus pakai apa? Sendok?”

“Pakai.. apa ya? Gue lupa, it's been a long time ago,” jawab Ghina seadanya.

Refi menggelengkan kepalanya pelan, melihat ke arah wanita dengan rambut terurai yang mengenakan cardigan berwarna cokelat itu.

“Kalau gue sih makannya pakai tangan, lebih enak. Tapi kalau lo mau pakai sendok, bentar, gue minta ke abangnya dulu,”

Ghina menahan pergerakan Refi yang hendak keluar, ia ingin mencoba hal yang dikatakan pria itu barusan.

“Makannya pakai tangan kan? Yaudah gue mau pakai tangan juga,” Refi mengangguk, terkekeh dengan tanggapan Ghina.

“Cuci tangan dulu, itu disana, mau gue anterin gak?” ucap Refi mengarahkan.

“Gak usah, gue keluar sebentar aja, pinjem kacamata lo dong, biar mata gue gak kelihatan lagi bengkak banget,”

Refi mengiyakan permintaan Ghina. Dibukanya dasbor mobil dan langsung mengambil kacamata yang tersedia di sana. Ia berikan benda berwarna hitam itu kepada Ghina.


Usai sudah kegiatan makan malam mereka. Cukup lama, empat puluh menit berlalu bagi keduanya. Jangan tanya kenapa, karena Ghina memang terbilang cukup lama dalam menyantap makanan, ditambah lagi dengan cara baru yang membuat waktu makannya semakin lama. Kondisi jalanan yang cukup sepi membuat mereka berdua keluar dari dalam mobil. Mata Ghina sudah tidak terlalu bengkak, jadi ia rasa sudah aman untuk keluar. Refi menyenderkan tubuhnya di bagian depan mobil. Mengarahkan Ghina untuk berada di sampingnya.

“Gue malu, kenapa setiap jalan sama lo, harus selalu dalam keadaan gue lagi nangis atau lagi kesusahan?” buka Ghina memulai percakapan.

“Dari yang awalnya kita ketemu karena gue terlambat, terus waktu itu lo nganter gue pulang karena gue gak ada jemputan, nemenin gue mergokin Saka lagi kissing di bar, ngelihat gue nangis gara-gara nungguin Saka di halte, dan sekarang? lo harus ngelihat gue nangis gara-gara Saka lagi,”

“Takdir, mungkin? Tandanya gue ditakdirin buat selalu nemenin lo kalau lagi kesusahan,” jawab Refi yang masih fokus melihat ke arah jalan.

“Ih bahasanya berat banget, emang lo malaikat? Turun dari langit buat ngebantu gue? Hahaha mana ada malaikat emosian kayak lo,”

“Kurang ajar,”

“Hahaha, tapi makasih. Big thanks buat lo, serius deh. Walau lo ngeselin, tapi hari ini gue bahagia banget bisa jalan sama lo,”

Refi tak membalas ucapan sang puan barusan, dirinya hanya tersenyum, tersipu malu dengan perkataan yang kelewat jujur itu.

“Lo hebat deh, bisa lepas dari hubungan toxic lo itu, cape gak? Selama ini terperangkap terus?”

Ghina melirik Refi sekilas, pertanyaan yang selalu dilontarkan bagi siapapun kepada dirinya. Mungkin, sebagian besar orang menganggapnya gadis bodoh karena selama ini tetap mempertahankan hubungannya itu.

“Gue bego ya, Ref? Gue terlanjur sayang sama Saka. Gue tau, hubungan gue ini toxic dan itu yang bikin gue gak bisa lepas dari dia. Saka selalu ngancem gue kalau gue berani minta putus. Dia bilang, seharusnya gue bersyukur karena ada cowo yang mau nerima gue, dia bilang gak akan ada cowo yang mau nerima cewe yang bahkan orang tuanya sendiri gak nganggep dia. Well, dia tau kalau Mamah kurang peduli sama gue, dia tau kondisi keluarga gue gak seindah yang media bilang. Itu yang selalu dia jadiin tameng, gue takut kalau gue putus sama dia, dia bakal nyebar rumor yang aneh-aneh tentang keluarga gue. Gue gak mau, gue udah cukup bikin Mamah marah, gue gak mau nambah masalah buat dia lagi,” tutur kata panjang dilontarkan Ghina. Ia hanya ingin mengeluarkan apa yang ia rasakan selama ini. Dia hanya.. Takut. Takut akan kemungkinan-kemungkinan yang belum dan mungkin tidak akan pernah terjadi. Terlalu banyak pikiran menakutkan yang mengerubungi kepalanya.

“Terus, kok sekarang berani?” tanya Refi yang sedari tadi menatap lekat wajah gadis di sampingnya.

“Gue udah capek banget, gue ngerasa Saka udah terlalu jauh nyakitin gue. Gue gak mau buat kak Danta kecewa lagi karena gue milih orang yang salah,” kata Ghina dengan kepala tertunduk. Ada perasaan bersalah menghampirinya terhadap sang kakak. Kak Danta yang selalu menyayangi dirinya, Kak Danta yang selalu mengerti jika ia sedang dalam kesulitan, namun dirinya malah memilih pria yang jelas-jelas hanya memberinya luka. Seraya mengabaikan perkataan sang kakak.

“Udah ah, gue gak mau bahas Saka lagi. Eneg, males gue dengernya,” ucap Refi mencoba mengalihkan topik.

“Ghin, nanti kalau si cowo brengsek itu ngancem lo lagi, kasih tau gue aja, biar dia gak berani macem-macem sama lo lagi,”

Ghina hanya tersenyum, mengangguk pelan tanda paham dengan pernyataan Refi.

“Btw, katanya lo kalau mau bawa gue jalan harus izin Kak Danta dulu, emang lo bisa hubungin Kak Danta? Gue daritadi chat aja belum dibalas,” tanya Ghina penasaran.

“Gue udah izin, gue udah ngirim email ke Kakak lo, lengkap dengan CV dan data diri gue. Jadi Kakak lo gak perlu khawatir, karena kalau misal nih ya misal, gue macem-macem sama lo, dia punya data gue lengkap,” jelas Refi panjang lebar. Pria ini seperti sudah siap dengan segala macam kemungkinan yang ada. Ghina termangu dengan perkataan Refi. Pria ini terlalu niat, pikirnya.

“Gila, niat banget,”

“Haha, udah yuk? Pulang, kalau gak jalan sekarang nanti sampai rumah lo malem banget yang ada. Habis ini jangan nangis lagi, cukup, simpen air mata lo, jelek tau kalau nangis terus,” ajak Refi kembali masuk ke dalam mobil.

“Bawel, emang gue jelek ya sekarang? Kan habis nangis,”

Refi mengarahkan pandangannya ke hadapan Ghina. Menangkup wajah cantik itu dengan perlahan. Memperhatikan dengan jelas.

“Nggak ah, tetep cantik aja,”

“Modus Lo! Modus kan? Modus ya lo megang-megang gue!!” Ghina mengejar Refi ke dalam mobil, karena setelah aksinya tadi, sang pria langsung bergegas masuk ke dalam mobil menahan sekuat tenaga agar senyuman tidak terukir di wajahnya. Meninggalkan Ghina di luar yang tadi masih terdiam, tubuhnya membeku.

Keduanya melanjutkan perjalanan, malam ini sepertinya akan terasa indah bagi keduanya.

Gemerlap indahnya malam bersama bintang-bintang berbinar terang menemani perjalanan mereka yang belum usai. Kendaraan roda empat yang dipegang kendali oleh Tian terus melaju dengan kecepatan sedang, menuju rumah sang puan yang mereka kira sejak tadi masih tertidur pulas di belakang. Tidak terasa menit demi menit berlalu, membuat ketiga insan tersebut sudah sampai di kediaman gadis cantik yang turut menemani kegiatan siang tadi.

“Lo mau turun sekalian?” tanya Tian yang melihat Danta sedang melepaskan sabuk pengaman kursi penumpangnya.

“Gue mau pamit dulu sama orang tuanya, gak enak,” jelas Danta membuka pintu mobilnya.

“Eh bentar, gue ikut gak?”

“Ya lo mau ikut atau nggak?”

“Nggak deh, titip salam aja. Itu anaknya di belakang lo bangunin dulu,” titah Tian pada sahabatnya, anggukan dari Danta adalah tanda bahwa lelaki itu paham apa yang harus dilakukakan.

Danta langsung membuka pintu belakang mobil dengan perlahan, melihat paras gemas sang gadis yang masih memejamkan mata. Ia terkekeh pelan.


Sekarang, terdapat dua insan yang saling memandangi diri mereka satu sama lain di halaman depan rumah Lala. Danta sedikit bingung, pasalnya sang puan tidak mengucapkan kalimat apapun sedari tadi.

“La?” tanya Danta memastikan keadaan lawan bicaranya, melihat netra puan di hadapannya sangat berkaca-kaca.

Tanpa aba-aba apapun, Lala langsung menempatkan dirinya di hadapan Danta, memeluknya dengan erat, menenggelamkan wajahnya di bidang pemuda itu, meloloskan tangisan yang sudah ia tahan sejak perjalanan tadi. Danta tersontak kaget, ia membalas pelukan tersebut, rasa hangat menjalar bagi keduanya di malam yang cukup dingin ini. Danta mengusap surai rambut wanitanya dengan perlahan.

“Kamu kenapa?”

Satu pertanyaan yang membuat gadis kecilnya itu semakin larut dalam tangisan. Tidak ada suara, namun Danta bisa merasakan tangisan itu.

Am i hurt you?” Lagi-lagi Danta bertanya karena belum mendapatkan balasan apapun dari pertanyan sebelumnya.

Lala mendongak, ia menggeleng pelan. Menatap fokus lelaki di hadapannya, kini mereka saling bertatapan.

“Maaf, maaf kalau aku gak sopan meluk kakak tiba-tiba. Tapi biarin aku meluk kakak, lima menit aja, ya?” Danta mengangguk mendengar tutur kata sang puan. Dirinya masih tidak menangkap apa alasan memeluknya, tapi yang jelas, mungkin saat ini ia sedang butuh ketenangan. Belum lama setelahnya, Danta meregangkan pelukan tersebut, mengusap deraian air mata yang masih tersisa di wajah Lala.


Danta berpamitan dengan keluarga Lala, berapa basa-basi singkat ia lontarkan guna mencairkan suasana. Dirinya bergegas menuju mobil di seberang jalan tadi. Namun, sang puan kembali menghampirinya, memberikan pesan terakhir sebelum ia benar-benar berpisah malam itu.

“Makasih ya kak, makasih udah mau percaya sama aku untuk tahu rahasia terbesar kakak. Kamu hebat! Kak, jangan nyerah ya? Kita gak tau besok ada kejutan apa,”

Senyum Danta merekah, tangannya bergerak ke atas, menepuk pelan kepala gadis itu lalu mengusapnya lembut. Seluruh tubuhnya menghangat dengan hati yang haru.

“Makasih La, kakak pergi dulu, jangan nangis lagi, oke?” Ucapan terakhir dari pria bertubuh jangkung itupun dibalas dengan senyuman hangat dari Lala.

Danta berjalan menuju mobil dengan perasaan bahagia. Lega rasanya mempunyai orang-orang di sekelilingnya yang mau menerima kekurangannya. Mungkin, di lain kesempatan, terbuka adalah jalan akan ditempuh, mencoba membuang rasa yang dirinya takutkan selama ini.

@zilnieboss

Matahari terbenam seakan mengikuti gerak mobil sedan yang membelah jalan. Tian memegang alih kemudi dengan Danta yang berada di sampingnya, ditemani seorang gadis cantik yang sudah tertidur lelap di kursi belakang. Hening, tak ada percakapan apapun. Keduanya digeluti oleh pikiran yang merasuki diri mereka masing-masing. Danta mengusap wajahnya gusar, hembusan nafas yang teramat berat ia loloskan tanda kecemasan. Tian sudah melihat gerak-gerik sahabatnya itu sedari tadi, ia masih penasaran dengan cerita Danta yang belum tuntas. Apa arti kalimat terakhir Danta di room chat tadi? Apa yang sahabatnya itu cemaskan hingga kini? Apa? Kenapa? Itu semua terlontar di benak Tian. Cukup lama sudah perjalanan di tempuh, belum ada yang berani membuka suara. Hingga rasa penasaran Tian semakin memuncak dan mencoba membuka percakapan di antara mereka.

“Dan, kenapa?”

“Apanya?” Danta melirik sahabatnya sekilas, ia masih belum mengerti dengan pertanyaan tersebut.

“Lo belum selesai cerita, tadi dokter Amri bilang apa aja ke lo?”

“Gue harus operasi Transplantasi hati, secepatnya, itu yang dokter Amri bilang tadi,” jelas Danta yang dibalas tatapan tertegun dari Tian.

“Gue cuma takut ...” sambungnya lagi.

“Apa yang lo takutin?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari tuturan Tian. Sungguh, ia tidak kuat menatap sahabatnya saat ini. Terserah kalian mau menganggap Tian pria lemah atau cengeng, ia benar-benar ingin menangis sekarang.

“Kanker hati gak bisa sembuh, Yan.. percuma,”

“Gak ada yang percuma, gak ada yang sia-sia. Selagi itu bisa dicoba, kenapa nggak?”

Danta menoleh ke hadapan Tian, ia tersenyum kecil. Kembali memalingkan pandangannya ke depan, lurus ke arah jalan.

“Kata dokter Amri, gue harus bilang ke Mamah tentang penyakit gue, dia mau gue jujur tentang semua yang gue alami selama ini, sebelum operasi itu di mulai,”

Tian terdiam, dirasa kalimat yang dilontarkan Danta masih menggantung, ia menunggu sang cucu adam menyelesaikan kalimatnya.

“Gue nyembunyiin penyakit ini bukan tanpa alasan. Bukan mau sok jago, sok kuat, sok keren kayak yang pernah lo bilang,”

Danta kembali melayangkan senyuman miris teruntuk dirinya sendiri, menarik dan menghembuskan nafas dalam seraya hendak melanjutkan kalimatnya.

“Dulu, Papah juga punya penyakit yang sama kayak gue. Kompleks, bahkan mungkin lebih komplek daripada gue. Semenjak Papah didiagnosis sama dokter, semua orang berubah. Semua orang jadi nganggep Papah kayak beban, bahkan keluarganya sendiri,”

Danta mulai merasakan netranya ingin melepaskan cairan bening disana, ia mencoba menahan dengan mengusap telapak tangannya perlahan ke sumber penglihatan. Kepalanya ia tundukan sejenak, mencoba mengingat peristiwa masa kecil yang tak terlupakan baginya.

“Dulu, perusahaan keluarga gue belum sebesar sekarang. Waktu itu bener-bener gak ada yang mau bantu Papah, dia sakit dan berobat sendiri. Gue masih inget banget, gimana keluarganya ngeremehin Papah. Mereka bilang, Papah nyusahin, cuma bisa ngehabisin uang buat biaya berobat doang, dan parahnya mereka bilang itu semua percuma karena bentar lagi Papah bakal mati. They said all those of shit in front of me, padahal waktu itu gue baru umur lima tahun. Bocah yang gak ngerti apa-apa, bocah yang gak sepatutnya denger itu semua, dan..”

Lagi-lagi kalimat Danta menggantung, Tian kembali harus menunggu pria itu menyelesaikan kalimatnya. Berat..

“Harusnya gue bisa lebih terbuka dan gak setakut ini buat ngeliat reaksi orang-orang tentang penyakit gue, haha,” akhir Danta dengan tawa miris.

Tian langsung memakirkan mobil yang mereka tumpangi di tepi jalan. Ia hanya ingin memeluk sahabatnya itu sekarang, tangisannya pecah, ia tidak mengetahui bahwa selama ini permasalahan pria di sampingnya terlalu rumit, lebih rumit dari yang ia bayangkan.

“Maaf ... gue gak tau,”

“Lo ngapain??”

“Mau meluk lo lah, apalagi?”

“Gak, lanjut jalan. Kasian Lala itu udah ketiduran, udah mau malem juga, gak enak nganter anak gadis kemaleman. Cengeng lo, lap dulu itu ingusnya,”

“Ck, gak asik lo!”

Kalimat terakhir dibalas gelagak tawa dari Danta. Setelah sekian lama, untuk pertama kalinya ia merasa sedikit lebih lega karena berhasil menuturkan dan membagi cerita perkara apa yang ia takutkan selama ini. Kisah yang di dengar oleh Tian, dan juga Lala yang tanpa sepengetahuan dua pria di depannya sudah terbangun sejak percakapan pertama tadi dimulai.

@zilnieboss

Hari semakin menuju petang, dua insan yang baru saja selesai melakukan kegiatan seni kini berada di lobby studio lukis. Bergegas keluar menuju destinasi lain. Hari ini cukup melelahkan bagi mereka berdua. Penat, namun seru melanda disaat yang bersamaan.

“Lo tunggu sini aja, gue ambil mobil dulu,” titah Refi pada Ghina yang masih asyik memandangi lukisan hasil karyanya. Ghina membalas dengan anggukan bersemangat, seperti anak kecil yang menuruti perintah.

“Haha, jangan kemana-mana. Awas lo hilang!” Ghina mengacungkan ibu jarinya dengan semangat pada Refi, perasaanya sore ini benar-benar gembira. Hingga seorang pria bertubuh jangkung menariknya dengan kuat. Mencengkeram kerah sang gadis dan menuntunnya ke tempat yang cukup sepi. Sakit, itu yang dirasakan Ghina saat ini. Tubuh mungilnya tidak kuat untuk menahan serangan tiba-tiba dari pria itu, kini dirinya hanya bisa pasrah walau perlahan memberontak.

“LEPAS!” teriak Ghina dengan suara menjerit.

“Lepas Sa, sakit.” Ghina masih memohon pada pria yang membawanya, tapi seakan tuli pria itu masih membawa sang gadis dengan kasar.

Dirasa sudah cukup aman, laki-laki yang menatap Ghina dengan amarah menggebu itupun melepas eratannya. Namun, kembali mencengkeram dagu Ghina agar sang puan tetap dalam kendalinya.

“Selingkuh kan lo?” Pria itu adalah Saka.

Netra Ghina berair, seperti tertampung di sebuah bendungan yang menunggu gerbang pelepasannya terbuka, bersiap untuk mengalir bebas. Ia ingin mengelakan badannya, namun apa daya cengkaman Saka semakin kuat. Ghina menatap mantan kekasihnya,

“Bukan gue, tapi lo, Sa,” pekik Ghina. Ghina meraih genggaman Saka, mencoba melepaskan tautan dari dagu miliknya. Tetapi semakin kuat Ghina mencoba, semakin kuat juga Saka mempertahankan kekuasaannya.

“Gue gak mau putus,”

Ghina melayangkan pandangan malas, ia merasa muak dengan pria ini.

“Menurut lo, gue bakal tahan dengan semua sikap lo selama ini? Gue muak! Gue bener-bener capek Sa. Oke kalau misal permintaan putus gue gak lo terima karena lewat chat. Sekarang, mumpung kita ketemu, I just wanna say, let's break up, Ajisaka Bagaskara.

“Telinga lo gak berfungsi atau gimana sih? Gue bilang, Gue gak mau, Ghin. Ayo balikan,” ajak Saka dengan nada tinggi seraya abai dengan perkataan lawan bicaranya barusan.

You're enough, lepas,” ucap Ghina tanpa basa-basi lagi. Saka beralih menambah cengkeramannya pada lengan Ghina, melontarkan berbagai ancaman kepada sang puan agar mau menuruti perkataanya.

“Ah! Sa! Sakit,”

Tepat setelah rengekan terakhir dari gadis itu, lelaki lain datang memberikan bogeman mentah untuk Saka. Hajaran yang awalnya merupakan benteng pertahanan yang digunakan untuk melindungi gadisnya, berubah menjadi bertubi-tubi. Sungguh, lelaki itu sangat marah sekarang.

Once again I saw you hurt my girl, you can get more than this. Stupid.

Refi menggenggam tangan Ghina pelan, menuntunnya masuk ke dalam mobil. Meninggalkan pria yang pantas mendapatkan hantaman itu dengan kesakitan, sendirian.

Siang ini ada dua sejoli sedang asyik bercanda di dalam mobil, melepaskan gurauan dan gelagak satu sama lain. Tak canggung bagi mereka untuk bersama bertukar jokes ringan maupun receh. Panas, situasi yang menggambarkan cuaca kala itu. Terik matahari mampu menembus kaca mobil yang mereka tumpangi. Perjalanan yang mereka tempuh lumayan memakan waktu karena tempat yang Refi tuju cukup jauh dari pusat kota. Mereka terhenti di lampu merah yang cukup padat, ini mungkin akan memakan waktu lebih banyak.

“Kaca mobil lo gelap gak?” sela Ghina di tengah-tengah obrolan mereka.

“Gelap, kenapa?”

“Ohh.. hmm.” Ghina menatap intens ke arah Refi, membuat lawan bicaranya itu merasa canggung.

“Ghin?”

“Hm?”

“Lo ngapain?” ucap Refi dengan suara tertahan, jujur saja posisi Ghina dengannya semakin dekat.

“Coba lo liat deh anak kecil di samping sana.” Tunjuk Ghina mengarahkan Refi pada anak kecil yang sedang berjualan koran di lampu merah.

“Kasian, ya?” sambungnya.

“Oh, iya kasian.” Refi meloloskan nafas beratnya, menggelengkan kepalanya pelan dan mencoba fokus ke depan.

“Lo kenapa deh? Responnya gak niat banget,” tutur Ghina yang memalingkan wajahnya dari hadapan sang pria.

“Bukan gitu, jangan deket-deket gue,” ungkap Refi yang masih fokus menyetir.

“Kenapa? Gak suka?”

“Bukan, tapi posisi lo tadi terlalu deket sama gue. Jangan gitu, gue cowo,” tegasnya.

“Hahaha lo panik? Santai aja sih Ref, gue gak bakal macem-macemin lo kok,”

“Ya lo santai, gue yang keringet dingin Ghin,” batin Refi berbicara.

“Kenapa lo nanya kaca mobil gue gelap atau nggak? tanya Refi kembali membuka obrolan.

“Gue mau Touch Up Make Up. Gue malu kalau diliatin orang dari luar,”

“OH IYA!” Teriak Ghina di tengah-tengah penjelasannya.

“APA??”

“Ini radio sepi banget, hehe gue putar playlist gue boleh gak?” bujuk Ghina pada teman prianya.

Sungguh, Refi yang awalnya panik bukan kepalang menjadi diam seketika mendengar tutur kata gadis itu barusan. Ia kira ada barang yang tertinggal atau sesuatu yang darurat.

“Kok diem? Boleh gak?” Ghina mendongak, kepalanya mendekat ke arah lawan bicara. Refi bersumpah, dirinya sedang melihat wajah tergemas saat ini. Pandangannya langsung ia alihkan kembali ke jalan, menahan sekuat tenaga senyuman yang hampir terukir di wajahnya. Membalas pertanyaan teman gadisnya itu dengan anggukan kecil.

Menit demi menit berlalu, ada satu persamaan lagi yang mereka temukan. Selera musik yang sama, menjadikan perjalanan panjang mereka lebih dari kata menyenangkan.

[Ghina POV]

Aku menunggu kedatangan pria yang selama ini telah menjadi kekasihku, Saka. Jujur saja aku sedikit kaget karena ia mau menuruti perkataanku untuk bertemu Kak Danta. Selama ini, yang aku tahu Kak Danta hanya mendengar kabar burung tentang Saka. Ya walaupun kabar itu kurang mengenakkan, aku harap di pertemuan pertama mereka ini bisa merubah kesan tersebut. Satu jam berlalu, dua jam berlalu, hingga tiga jam telah terlewat. Pria yang sedari tadi aku tunggu kehadirannya belum juga tiba. Tepat di ruang tamu, dengan balutan Shirt dress dan make up sederhana yang telah aku persiapkan, aku masih mengharap kabar darinya. Setidaknya, jika memang ia membatalkan kencan kami malam ini, aku harap ia mengkonfirmasinya langsung. Walaupun hanya sekedar pesan singkat. Disaat cemas melanda pikiranku, detik selanjutnya aku dikejutkan dengan sosok pria yang menuruni tangga rumah.

“Rapi banget malam-malam, mau ke mana?” sapa Kak Danta.

“Eum anu Kak, mau dinner hehe,” jawabku ragu.

“Astaga, Ghin. Liat ini sudah jam berapa? Lo belum makan malam?” Panik, itu adalah reaksi Kak Danta saat mendengar jawabanku.

“Gue masakin? Aduh gak keburu, gue beliin makan aja ya keluar? Tunggu bentar, lima menit lagi gue balik,” sambungnya.

Aku menggenggam tangannya refleks, menggeleng tanda bahwa aku tak menginginkan itu. Kepalanya ia miringkan, dengan alis yang naik tanda bertanya.

“Gue lagi nunggu temen, udah janji mau dinner bareng,”

“Temen? Saka maksud lo?”

Aku tersontak kaget, menelan saliva tanda panik berdatangan.

“Kok tau?” tanyaku pelan, dibenakku masih teringat jelas bagaimana kala itu Kak Danta memarahiku karena masih berhubungan dengan Saka.

“Stop bodoh. Gue udah bilang berkali-kali Saka itu brengsek, gak usah lo tungguin dia lagi. Gue tanya sekarang, berapa jam lo udah nunggu dia? Ada ngasih kabar gak? Ini udah jam setengah sepuluh malam dan dia belum datang. Orang dinner mana jam sepuluh malam, Ghin? Cukup. Ayo ikut gue, kita makan di luar. Jangan pernah berhubungan sama Saka lagi,” akhirnya sembari membawa langkahku keluar, masuk ke dalam mobil.

Tingg

Tepat saat aku memasang seat belt nada dering tanda pesan masuk berlabuh di ponselku. Di lubuk hatiku saat ini, aku mengharapkan pesan penjelasan dari Saka. Namun, yang kudapat malah sebaliknya.

“Anjing.”